Kita - Kamu & Aku

on 23.32

Lagi, tentang kita
Ini bukan yang pertama, duduk sendirian dan memperhatikan beberapa tulisan berlalu lalang. Setiap abjad yang tersusun dalam kata, terangkai menjadi kalimat. Dan entah mengapa, sosokmu selalu berada disana. Berdiam dalam tulisan yang sebenarnya enggan aku baca dan kudefinisikan lagi.
Ini bukan yang baru bagiku. Duduk berjam jam, tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. Kekosongan dan kehampaan sudah berganti ganti wajah sejak tadi. Namun aku tetap menunduk, mencoba tak memperhatikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati salah sendiri.
Tentu saja, kamu tak merasakan apa yang aku rasakan. Juga tak memiliki rindu yang tersimpan rapat rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan itu, agar kita tak lagi saling mengganggu. Bukankah dengan berjauhan seperti ini, semuanya terasa jadi lebih berarti? Seakan akan, aku tak pernah peduli. Seakan akan, aku tak mau tahu. Seakan akan, aku tak miliki rasa perhatian.
Bagiku, sudah cukup seperti ini. Cukup ‘aku’ dan ‘kamu’, tanpa ‘kita’.  Kali ini aku tidak akan menjelaskan tentang kesepian, atau bercerita banyak hal yang mungkin saja sulit kau pahami. Karena aku sangat tahu, kamu sangat sulit diajak basa-basi. Haha, apalagi jika berbicara tentang cinta mati.
Aku yakin, kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume lagu lagu yang bernyanyi, bahkan tanpa lirik yang tak bisa kau terjemahkan sendiri. Aku tidak akan tega membebanimu dengan cerita cerita eksel dengan ansambel yang selalu kau benci. Seperti dulu, saat aku bicara cinta. Dan kamu malah tertawa. Seperti saat kita masih bersama, aku berkata rindu, kamu menulikan telinga.
Hanya cerita sederhana yang mungkin tak ingin kau dengar sebagai pengantar tidurmu. Kamu tak suka jika kuceritakan tentang air mata, bukan? Bagaimana jika kualihkan air mata menjadi senyum pura pura? Tentu saja, kau tak akan bisa melihatnya. Sejauh yang aku tahu, kamu tidak peka. Dan mungkin saja, sifat burukmu masih sama, walaupun kita sudah lama saling memisah dan tak bertatap muka.
Entah mengapa, akhir akhir ini sepi sekali. Aku seperti berbisik dan mendengarkan suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran, dalam gelap malam ternyata ada banyak cerita yang sudah kulewatkan. Ini.....tentang kita.
Ah, sekarang kamu pasti sedang buang muka, tak ingin melihat lukisan cacat dimasa lampau. Akupun juga begitu. Tak ingin membuka luka lama. Tak ingin menyentuh bayang bayangmu yang semakin samar samar. Tak ingin mereka-reka senyum dan ramahmu, yang tak seindah dulu.
Kalau boleh jujur, kita dulu begitu akrab, di otak, mata dan pikiranku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh waktu dan jarak. Sudah kesekian kali, aku menyebut nyebut namamu dalam sepi. Dan membiarkan kenangan terbang menggelitik geli dimanja angin. Tertiup jauh, namun mungkin akan kembali.
Wajah baruku bisa kau lihat kembali. Lebih hangat dan semangat daripada disaat awal kau kusadari mulai menjauh dariku. Berbicara tentang perpisahan.....benarkah kita telah berpisah? Benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata saling, tapi mengapa hatiku masih ingin mengikatmu? Dan mengapa saat ini aku tak benar benar ingin menjauh. Kadang jarak tak pernah menjadi alasan kita tak bisa saling berbagi, kecuali aku terlalu hina untuk kau ingat pernah ada dihari hari menyenangkanmu lagi.
Dalam sebuah ketidak jelasan, aku dan kamu sepertii menjalani sesuatu yang..... sesuatu yang entah disebut apa. Tapi kupikir kau benar benar tak harapkan aku hadir lagi dihidupmu seperti dulu walaupun ada rasa nyaman yang kurasakan ketika kita berdekatan. Seperti ada yang hilang lalu kembali menyatu, walaupun aku yakin itu tak pernah bertahan lama..
Terlalu tololkah jika kusebut belahan jiwa? Keterikatan aku dan kamu tak pernah ada dalam status. Tapi...jiwaku, nafasku, kerinduanku masih memiliki detak yang sama setiap harinya, walaupun kekecewaan itu muncul ketika kuketahui itu semua tak akan berbalas. ‘aku’ tak akan kamu ubah menjadi ‘kita’. ‘aku’ hanya akan jadi ‘aku’ yang terlalu lemah untuk mencabut kamu dari kenangan kita yang merubah hidupku.
Tak perlu dibawa serius, ini hanya rangkaian beberapa paragraf bodoh yang kubuat untuk menemani aku dari kesepian dan kesunyian yang sayup sayup memanggil. Sulit untuk dipungkiri, sejak aku dan kamu telah sendiri sendiri, sejak aku dan kamu memilih jalan kita sendiri, aku malah sering main dengan sepi.

J

Blow, Blow, Thou Winter Wind

on 19.00

Blow, blow, thou winter wind Thou art not so unkind As man's ingratitude; Thy tooth is not so keen, Because thou art not seen, Although thy breath be rude. 
Heigh-ho! sing, heigh-ho! unto the green holly: 
Most freindship if feigning, most loving mere folly:
 
Then heigh-ho, the holly!
 
This life is most jolly.
 

Freeze, freeze thou bitter sky,
 
That does not bite so nigh
 
As benefits forgot:
 
Though thou the waters warp,
 
Thy sting is not so sharp
 
As a friend remembered not.
 
Heigh-ho! sing, heigh-ho! unto the green holly:
 
Most friendship is feigning, most loving mere folly:
 
Then heigh-ho, the holly!
 
This life is most jolly.
 

William Shakespeare

Kucing Hitam by Edgar Allan Poe

on 04.42



Dari narasi terliar namun sederhana yang hendak kukisahkan ini, aku sama sekali tidak berharap atau meyakini apapun. Aku pasti gila bila mengharapkan sesuatu, karena jelas-jelas seluruh akal sehatku telah menolak bukti-bukti yang ada. Aku masih waras – dan yang pasti, aku tidak sedang bermimpi. Aku paham, kematian akan menjemputku esok, untuk itu aku akan melepaskan seluruh beban jiwaku hari ini. Keinginan terbesarku adalah hidup di atas bumi ini secara sederhana, tanpa beban dan tanpa keluhan; hanya menjalani rangkaian peristiwa kehidupan yang biasa-biasa saja. Keinginanku ini telah banyak mendatangkan kengerian tersendiri bagiku – menyiksaku, menghancurkanku. Namun aku tak ingin menceritakannya di sini. Bagiku, semua itu adalah kisah horor dalam kehidupanku – meskipun bagi sebagian orang mungkin kisahku tak sebanding dengan kisah-kisah begaya baroque yang hebat.

Beberapa pendapat intelektual mungkin akan mematahkan kisah fantasiku ini di beberapa bagian – pendapat-pendapat intelektual yang lebih tenang, lebih logis, dan jauh lebih menjemukan dari apa yang akan kukemukakan. Meskipun demikian, aku akan menanggapinya dengan biasa saja, karena semuanya tak lebih dari rangkaian sebab dan akibat alami yang sederhana.

Sejak kecil, aku telah dikenal karena sifatku yang lemah-lembut dan memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi. Kelembutan hatiku begitu jelas terpancar sehingga seringkali menjadi bahan lelucon bagi kawan-kawanku. Aku sangat menyukai hewan, dan kedua orang tuaku pun memanjakanku dengan mengizinkanku memelihara berbagai jenis hewan peliharaan. Bersama mereka aku banyak menghabiskan sebagian besar waktuku, dan tak pernah kurasakan kebahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan saat-saat aku memberi makan dan bercengkerama dengan mereka. Karakter aneh ini bertambah kuat seiring dengan pertumbuhanku, dan begitu aku beranjak remaja, aku semakin menegaskan bahwa ini merupakan salah satu sumber kesenanganku yang utama. Bagi mereka yang telah merasakan cinta-kasih dari seekor anjing yang setia dan cerdas, maka penjelasanku mengenai apa yang kurasakan mungkin dapat dipahami dengan mudah oleh mereka. Ada sesuatu yang terasa dari cinta-kasih yang begitu tulus dan penuh pengorbanan dari hewan itu, yang hanya dapat dirasakan secara langsung oleh mereka yang telah seringkali mengalami pahit-manisnya jalinan persahabatan dengan sesama manusia biasa.

Aku menikah di usia muda, dan betapa senangnya saat kudapati bahwa istriku pun memiliki sifat yang sama. Ia tak pernah mengeluh atau menolak keinginanku untuk memelihara hewan peliharaan. Kami memelihara burung, ikan emas, seekor anjing yang manis, beberapa ekor kelinci, seekor kera kecil, dan seekor kucing.

Kucing yang kami miliki ini berukuran sangat besar dan sangat cantik, seluruh tubuhnya berwarna hitam, dan ia luar biasa cerdas. Berbicara mengenai kecerdasan si kucing, istriku, yang sesungguhnya tidak mempercayai hal-hal supranatural, namun terkadang ia pun mengaitkan kecerdasan hewan tersebut dengan pendapat kuno, yaitu bahwa seluruh kucing berwarna hitam merupakan penjelmaan penyihir. Aku paham bahwa pendapatnya tersebut tidaklah serius ia kemukakan – dan alasan kuceritakan hal ini, hanya karena kebetulan saja terlintas di benakku.

Pluto – nama kucing itu – adalah hewan peliharaan yang paling kusukai dan ia juga merupakan temanku bermain. Aku sendiri yang selalu memberinya makan, dan ia juga selalu mengikutiku kemana pun aku pergi di sekeliling rumah. Dan aku selalu mengalami kesulitan untuk mencegahnya mengikutiku ketika keluar rumah.

Persahabatan kami berlangsung lama, tepatnya selama bertahun-tahun, bahkan ketika aku harus melewati masa-masa di mana temperamen dan karakterku mengalami perubahan radikal terburuk – (betapa malunya aku untuk mengakui ini). Hari demi hari, suasana hatiku berubah menjadi semakin tak menentu, aku menjadi orang yang semakin menyebalkan, dan semakin tidak peduli terhadap perasaan orang lain. Aku mulai berbicara dengan kata-kata kasar dan penuh amarah pada istriku, hingga akhirnya berlanjut dengan menyakitinya secara pribadi. Perubahan sifatku ini pun harus dirasakan pula oleh hewan-hewan peliharaanku. Aku tak hanya mengabaikan mereka, namun juga memperlakukan mereka dengan buruk. Namun, khusus bagi Pluto, aku berusaha menahan diri untuk tidak menyakitinya; sedangkan bagi para kelinci, kera, atau bahkan si anjing, aku sama sekali tidak menahan diriku untuk memperlakukan mereka dengan buruk, terutama bila tanpa sengaja mereka melintas atau berada di dekatku. Penyakitku ini kurasakan bertambah semakin parah – karena bagiku, penyakit adalah bagaikan Alkohol! – hingga pada akhirnya, Pluto, yang kini semakin tua dan semakin mengesalkan, harus pula merasakan dampak dari temperamen burukku.

Pada suatu malam, saat pulang dalam keadaan sangat mabuk, aku merasa bahwa kucing itu mengabaikan kedatanganku. Aku pun dengan geram langsung menangkapnya; perbuatan kasarku itu membuatnya takut, sehingga ia pun melukai tanganku dengan gigi-giginya. Amarahku semakin memuncak seketika, seolah iblis telah menguasaiku. Aku bukanlah diriku lagi. Jiwaku seperti melayang pergi meninggalkan ragaku; dan sebagai gantinya, sesuatu yang lebih buas, kasar serta menakutkan mengisi ragaku yang kosong itu. Tanganku meraih sebuah pisau-pena dari dalam saku mantelku, kubuka, sementara tanganku yang lain masih memegangi si kucing, kemudian pisau itu kutusukkan ke arah matanya dan mencongkel bola mata kucing malang itu! Aku memerah, aku terbakar, aku merasa jijik, saat melakukan perbuatan kejam tersebut.

Begitu pagi datang dan kesadaranku mulai pulih – aku jatuh tertidur setelah melalui malam yang melelahkan – aku merasakan perasaan yang bercampur-aduk, sebagian dari diriku merasa ketakutan, sebagian merasa amat menyesal, karena perasaan bersalah dari perbuatanku semalam; namun di sisi lain, aku pun merasa lemah dan bimbang, serta merasa bahwa jiwaku tetap tak tersentuh. Aku menenangkan hatiku dengan cara menenggelamkan diriku dengan minum-minum anggur, agar peristiwa itu cepat terlupakan.

Sementara itu, kesehatan si kucing perlahan mulai membaik. Matanya yang telah tercongkel sungguh menunjukkan pemandangan yang mengerikan, namun ia tampak tak lagi merasakan sakit. Kucing itu telah mampu menjalani kebiasaannya seperti semula, yaitu berjalan kesana-kemari keliling rumah, namun segera melarikan diri dengan penuh ketakutan begitu kudekati. Hatiku sedih dan merasakan kehilangan yang amat mendalam begitu menyaksikan peristiwa tersebut, menyadari bahwa makhluk yang dulu pernah begitu menyayangiku kini berbalik membenciku. Kondisi ini perlahan mendatangkan rasa kesal bagiku. Lalu pada akhirnya, seolah-olah hendak melengkapi keterpurukkan jiwaku, hadirlah sifat JAHAT yang kemudian mengisiku. Tak ada akal sehat yang menyertai sifat ini. Aku tak lebih yakin bahwa jiwa murniku masih hidup, dibandingkan dengan keyakinanku bahwa kejahatan merupakan bagian dari detak jantung manusia – yaitu, salah satu sifat atau sentimen dasar yang mewarnai dan menggambarkan karakter seorang manusia. Mengapa mereka yang telah berulang kali, mendapati dirinya melakukan perbuatan jahat atau bodoh, dengan alasan yang tak lain karena mereka paham bahwa perbuatan itu tak seharusnya dilakukan, masih terus melakukannya? Bukankah kita memiliki kecenderungan yang selalu dilakukan secara terus-menerus, dalam kemampuan penilaian kita yang terbaik, yaitu bahwa Hukum tercipta untuk dilanggar, semata-mata karena kita sesungguhnya memahami bahwa itulah yang seharusnya terjadi? Sifat jahat ini, seperti yang telah kukatakan, menjadi pelengkap akhir dari keterpurukkan jiwaku. Bagaikan penantian panjang dan hasrat mendalam dari jiwaku untuk menyakiti dirinya sendiri – menawarkan kekejaman bagi dirinya sendiri – melakukan perbuatan buruk demi keburukan itu sendiri – yang mendorongku untuk terus melanjutkannya dan melahap sendiri rasa sakit dari perbuatan kejamku pada hewan malang itu. Pada suatu pagi, dengan darahku yang dingin, aku melilitkan seutas tali di lehernya dan menggantungkannya di batang sebuah pohon; aku melakukannya dengan berderai air mata, dan kegetiran dari rasa sesal tersirat di dalam hatiku; aku menggantungnya karena kutahu ia pernah menyayangiku, dan karena karena ia tak memberiku alasan untuk menyakitinya; aku menggantungnya karena dengan perbuatan itu aku telah melakukan sebuah dosa – dosa besar yang balasannya akan diterima oleh jiwaku yang fana – jika hal itu memang mungkin terjadi – bahkan melampaui jangkauan pengampunan dari Tuhan, Sang Maha Pengampun dan Sang Maha Besar.

Malam harinya, pada hari yang sama aku melakukan perbuatan kejam itu, tiba-tiba aku terbangun dari tidur karena suara desiran api. Tirai-tirai di sekeliling ranjangku terbakar oleh nyala api. Seluruh rumah pun terbakar. Aku, istriku, dan seorang pelayan kami mengalami kesulitan ketika menyelamatkan diri dari kobaran api yang menjilat-jilat. Semua hancur. Seluruh kekayaan duniawiku habis dilalap api, dan aku mendapati diriku terkalahkan dan putus asa.

Aku berada pada puncak lemahku untuk mencari rangkaian sebab dan akibat, di antara musibah dan kekejaman ini. Namun berusaha untuk merinci rantai fakta-fakta – dan bertekad agar tak satupun sambungan rantai itu tidak sempurna. Satu hari setelah peristiwa kebakaran itu, aku kembali mengunjungi puing-puing bekas kebakaran. Salah satu dinding di rumahku telah runtuh, tepatnya dinding sebuah kompartemen; ukurannya tidak terlalu tebal dan berdiri di sekitar bagian tengah rumah, serta berada di sisi lain kamar tidurku, berbatasan dengan bagian kepala ranjangku.  Bagian plester yang melapisinya, sanggup menahan kobaran api – sebuah fakta yang kuyakini ada karena beberapa saat sebelumnya dinding itu baru dilapisi lapisan plester tersebut. Di sekitar dinding ini, beberapa orang tengah berkumpul; mereka memeriksa dan mengamati setiap bagian dengan bersungguh-sungguh. Kata-kata “aneh!” “ajaib!” dan berbagai seruan lain serupa terlontar dari mulut-mulut mereka, dan membuat rasa penasaranku semakin membesar. Aku bergerak mendekat dan melihat, seperti sebuah ukiran timbul pada permukaan putih, dengan bentuk seekor kucing yang amat besar. Detail ukiran itu tampak sangat akurat dan luar biasa mengagumkan Ada seutas tali yang melilit leher kucing itu.

Ketika pertama kali aku melihat pemandangan ini, rasa penasaran dan perasaan takut yang kurasakan sangatlah kuat. Namun tiba-tiba sebuah ingatan sedikit membantuku. Aku masih ingat, kucing itu tergantung di sebuah pohon yang tumbuh di halaman, pohon itu berbatasan langsung dengan rumah. Begitu peristiwa kebakaran terjadi, halaman itu segera dipenuhi oleh orang-orang yang datang –  seseorang pasti telah memotong tali yang menggantung kucing itu dan melemparkannya, melalui jendela yang terbuka, ke dalam kamar tidurku. Hal ini mungkin dilakukan ketika melihatku sudah terbangun dari tidur. Reruntuhan dinding-dinding lainnya telah menekan jasad dari korban kekejamanku ke dalam cairan plester yang baru saja disapukan beberapa waktu lalu; campuran cairan kapur dan zat amonia dari jasad itu, ditambah dengan panasnya kobaran api, telah menciptakan suatu bentuk ukiran seperti yang kulihat tersebut.

Meskipun aku mencoba berpikir dengan seluruh akal sehatku mengenai kejadian itu, namun fakta yang begitu detail tersebut tak sanggup kuhilangkan dari dalam benakku dan terus mengusik rasa penasaranku. Selama berbulan-bulan, fantasi tentang kucing itu terus menghantuiku; dan sepertinya, selama masa-masa tersebut, jiwa sentimenku yang separuh hilang kini telah kembali, meskipun aku tak sepenuhnya yakin, yaitu perasaan menyesal. Perasaan menyesal itu kurasakan cukup mendalam; aku menyesal bahwa hewan itu telah pergi dan penyesalan pun kurasakan ketika melihat ke sekelilingku, seolah-olah para hewan dari spesies yang sama, atau berpenampilan sama, yang tampak serupa dengan si kucing, kini terus menghantui dan tampak selalu berkeliaran di sekitarku.

Pada suatu malam, ketika aku duduk terdiam, masih dalam kondisi jiwaku yang buruk, mataku tiba-tiba terpaku pada sesosok obyek berwarna hitam. Sosok itu tengah berbaring di salah satu patung babi hutan berkuran besar berwarna seperti Gin atau seperti Rum, yang menjadi bagian utama dari seluruh perabotan di apartemen itu. Aku berusaha untuk menatap dengan teliti ke atas patung babi hutan itu selama beberapa menit, dan sesuatu yang membuatku terkejut adalah, aku tak menyadari keberadaan obyek itu sebelumnya. Aku memutuskan untuk bergerak mendekatinya, dan menyentuhnya dengan tanganku. Obyek itu adalah si kucing hitam – dengan ukuran yang sangat besar – ukurannya sebesar Pluto, dan setiap detail tubuhnya sangat serupa dengan Pluto. Seluruh bulu di tubuh Pluto sepenuhnya berwarna hitam, tak ada sehelaipun berwarna putih; namun kucing yang satu ini memiliki bagian bulu yang berwarna putih, meskipun tidak terlalu mencolok, bulu-bulu itu menutupi hampir seluruh bagian dadanya.

Ketika tanganku akan mendekat untuk menyentuhnya, ia tiba-tiba bangkit, dan mengeong nyaring, menggosokkan tubuhnya di tanganku, dan tampak senang dengan kehadiranku. Hewan seperti inilah yang selama aku cari. Seketika itu pula aku mendatangi sang pemilik apartemen dengan niat untuk membeli hewan itu; namun orang itu berkata bahwa ia bukanlah pemilik kucing tersebut – ia tak tahu-menahu tentang keberadaan kucing itu – ia bahkan belum pernah melihatnya sebelumnya.

Aku masih tetap membelai-belai kucing itu, dan ketika aku hendak beranjak pulang, ia menunjukkan sikap ingin turut serta bersamaku. Aku pun mengizinkannya untuk ikut; sesekali aku masih membelai dan mengusap-usap bulunya di sepanjang perjalanan kami. Begitu kami tiba di rumah, ia langsung membuat dirinya nyaman seolah-olah itu memang rumahnya, dan istriku pun langsung jatuh hati padanya.

Sedangkan bagi diriku sendiri, entah dari mana datangnya namun rasa benci itu segera muncul di dalam diriku. Ini merupakan kebalikan dari apa yang selama ini berupaya untuk kuhindari; namun aku sama sekali tak mengerti bagaimana atau mengapa perasaan ini muncul – rasa suka itu berubah menjadi rasa jijik dan rasa terganggu. Perlahan, rasa jijik dan rasa terganggu ini semakin tumbuh menjadi kebencian yang pahit. Aku berusaha untuk menghindari makhluk itu; ada rasa malu, dan kilasan kenangan mengenai perbuatan kejamku di masa lalu yang selalu menghantui, sehingga mencegahku untuk berupaya melukai makhluk itu secara fisik. Selama berminggu-minggu, aku sama sekali tak berusaha untuk memukulnya atau menciderainya; namun pada akhirnya, secara perlahan-lahan – sangat perlahan – aku melihatnya dengan rasa enggan yang tak terucapkan, dan selalu menghindari keberadaannya yang menjijikkan secara diam-diam, seolah-olah aku ingin menjauhkan diri dari wabah penyakit menular.

Untuk semakin menegaskan kebencianku terhadap kucing itu, adalah penemuan yang baru kusadari pada keesokan paginya setelah malam sebelumnya kuambil kucing itu, yaitu, seperti Pluto, kucing itu juga kehilangan salah satu matanya. Namun kondisi kekurangannya tersebut malah membuatnya semakin dicintai oleh istriku, seperti yang telah kukatakan sebelumnya, ia adalah wanita yang memiliki jiwa kemanusiaan yang amat besar, yang dulu pernah pula kumiliki dan kujadikan sebagai sumber kesenanganku, namun kini sifat itu menjadi sangat menjijikan bagiku.

Keenggananku untuk berurusan dengan kucing itu semakin meningkat di dalam diriku. Hewan itu, dengan keras hati, terus mengikuti kemanapun kakiku melangkah, hal ini mungkin sedikit sulit untuk kujelaskan kepada pembaca secara rinci. Kapanpun ia berbaring, ia akan selalu merangkak ke bawah kursi yang kududuki, atau naik ke pangkuanku dan bermanja-manja dengan malas. Ketika aku beranjak berdiri, ia akan berjalan perlahan di antara kedua kakiku hingga hampir membuatku terjatuh, atau, menancapkan cakar-cakarnya dengan lembut pada pakaian yang kukenakan, kemudian bergerak ke atas hingga posisinya seperti bergantung pada dadaku. Pada saat-saat demikian, meskipun hatiku begitu kuat ingin menghancurkannya, namun aku masih sanggup untuk menahan diri; sebagian karena kenangan perbuatan kejiku di masa lalu masih terlintas di dalam benakku, namun alasan yang utama adalah – izinkan aku untuk mengakuinya kali ini saja – karena rasa takutku yang amat besar pada kucing itu.

Ketakutan yang kumiliki bukan karena melihat penampilan fisiknya yang menyeramkan – sedikit sulit bagiku untuk menjelaskan alasannya di sini. Aku malu untuk mengakui – ya, bahkan dengan jiwa jahatku yang besar ini, aku sangat malu mengakui – bahwa ketakutan dan kengerian yang ditimbulkan oleh hewan itu bagiku tampak seperti keseraman makhluk chimaera. Istriku telah beberapa kali mengingatkanku bahwa kucing itu memiliki bulu berwarna putih di bagian dadanya, sangat berbeda dengan kucing yang pernah kubinasakan sebelumnya. Pembaca mungkin masih ingat, bahwa bagian tubuhnya yang berbulu putih itu memang cukup lebar namun tidaklah terlalu terlihat mencolok; meskipun pada awalnya bagiku tidak terlihat mencolok – bahkan aku bersikeras untuk menganggapnya tidak terlihat sama sekali – tapi, semakin lama bagian itu menjadi bagian nyata dan memberikan perbedaan yang tegas. Keberadaan makhluk yang membuatku bergetar untuk menyebutkannya – dan untuk hal ini, melebihi segala hal lainya, aku merasa enggan dan amat ketakutan, dan ingin mengenyahkan diriku sendiri dari dekat monster itu – kini, seperti berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan, mengerikan yang bangkit dari TIANG GANTUNGAN! Kesengsaraan dan Kematian – oh, mesin pencabut nyawa dan penghukuman yang menyedihkan dan menakutkan.

Dan kini aku terpuruk di tengah-tengah keterpurukan sisi kemanusiaanku. Dan hewan itu – saudaranya yang telah kubinasakan sebelumnya – terus menghantuiku; ia membayang-bayangiku dengan kekuatan pengaruhnya yang bagaikan Dewa Tertinggi – oh! Aku tak tahan, sialan! kini, siang atau malam, aku tak lagi merasa tenang! Kucing yang sebelumnya tak pernah membiarkanku sendiri; dan kini, kucing yang berikutnya, selalu menghantuiku dengan mimpi-mimpi menyeramkan dan mendapati makhluk itu menghembuskan napas panasnya di wajahku, serta membebaniku dengan bobotnya yang berat – sungguh mimpi buruk yang tak sanggup kujauhkan dari diriku – ia terus merongrong hatiku, selamanya!

Di bawah tekanan siksaan yang tak kunjung berhenti ini, sisi lemahku sepertinya memilih untuk menyerah kalah. Namun, pikiran-pikiran jahat muncul dan menjadi sahabat baikku – pikiran terjahat dan tergelap. Ketidakstabilan hati dan jiwaku kini semakin parah menjadi kebencian pada semua hal dan semua orang; meledaknya amarahku yang muncul secara mendadak, sering dan tak terkendali itu telah membutakan hatiku, dan seperti sebelum-sebelumnya, istriku yang tak pernah mengeluh dan penyabar itu menjadi korban utama pelampiasan amarahku.

Pada suatu hari, istriku menemaniku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Ia mengikutiku pergi ke gudang bawah tanah dari bangunan tua ini, tempat tinggal yang terpaksa harus kami huni karena tekanan kemiskinan yang harus kami alami. Kucing itu mengikutiku menuruni tangga yang curam, dan, ia hampir saja membuatku terjungkal jatuh, hingga mendorongku ke puncak amarahku. Secara spontan, aku mengangkat kapak, dan dengan gelap mata, segala rasa takutku terhadapnya seolah hilang. Kuayunkan senjata itu, dan hendak menghunjamkannya ke tubuh makhluk tersebut, dengan harapan bahwa ia akan segera binasa. Namun tangan istriku segera menahan perbuatanku. Merasa terhalang oleh intervensi tersebut, amarahku semakin menggila, aku menarik tanganku dari genggaman istriku dan menghunjamkan kapak tersebut pada kepalanya. Ia menghembuskan napas seketika itu pula, dan jatuh terkulai tanpa rintihan.

Pembunuhan keji itu baru saja terjadi, aku pun segera menyadarkan diriku sendiri; dengan segenap usaha aku berpikir untuk menyembunyikan jasad wanita itu. Aku tak mungkin membawanya pergi dari rumah, baik di siang maupun malam hari, tanpa risiko bahwa para tetangga mungkin saja melihat. Aku memutar otak, berbagai ide muncul di dalam benakku. Sesaat aku berpikir untuk memotong-motong jasad itu menjadi beberapa bagian kecil, dan menghilangkan jejak dengan cara membakar potongan-potongan tubuh tersebut. Sesaat kemudian, ide untuk menggali lubang di lantai gudang bawah tanah dan menguburnya di sana terlintas pula di dalam kepalaku. Lalu, berpikir untuk membuang jasad itu ke dalam sumur di halaman – atau, memasukkannya ke dalam kardus dan membungkusnya sedemikian rupa dan serapi mungkin hingga tampak seperti suatu produk pabrik, lalu memanggil kurir untuk membawanya pergi dari rumah. Namun, pada akhirnya aku menemukan ide yang kuanggap terbaik dibandingkan ide-ide lainnya. Aku memutuskan untuk menyembunyikannya di dinding gudang bawah tanah – seperti yang katanya biasa dilakukan oleh para biarawan pada zaman pertengahan, di mana mereka menguburkan para korbannya di dalam dinding.

Aku rasa, inilah salah satu fungsi gudang bawah tanah. Dinding-dinding di dalam ruangan ini dibangun secara longgar, dan diberi sapuan lapisan plester seadanya, yang masih terasa basah karena kelembapan di dalam ruangan ini sangat tinggi sehingga sulit bagi lapisan tersebut untuk kering. Selain itu, pada salah satu dindingnya terdapat bagian yang menjorok ke depan, seperti tempat cerobong asap dan perapian, namun bagian itu pun telah diisi dengan material sehingga menjadi selaras dengan bagian ruangan lainnya. Aku sangat yakin bahwa tempat itu cocok bagiku untuk menyembunyikan jasad tersebut; aku hanya perlu mengeluarkan material yang mengisi rongga itu, lalu memasukkan jasadnya, dan mengisinya kembali dengan material sehingga tetap terlihat sama seperti semula.

Aku merasa yakin dengan perincian dan perhitungan rencanaku ini. Dengan bantuan linggis, dengan mudah aku dapat merobohkan batu-batu bata yang tersusun, dan dengan hati-hati aku kemudian menyandarkan jasad itu ke dinding di belakangnya. Aku mengalami sedikit kesulitan ketika harus menyusun ulang batu-batu bata tersebut ke tempatnya semula. Telah kusiapkan mortar, pasir dan serat, dengan segala perhitungan yang tepat, selain itu, aku pun telah menyiapkan cairan plester yang serupa dengan cairan semula; kusapukan cairan plester tersebut dengan sangat hati-hati di atas dinding bata yang baru kususun. Setelah pekerjaan itu selesai, aku merasa puas dengan hasilnya dan semua tampak biasa-biasa saja. Dinding itu tak menunjukkan perbedaaan dari sebelumnya. Kotoran dan sampah yang berserakan di lantai gudang kuambil satu per satu dengan saksama. Aku melihat ke sekeliling dengan rasa bangga dan lega, kukatakan pada diriku sendiri – “Akhirnya, pekerjaanku tak sia-sia.”

Tugasku berikutnya adalah mencari kemana perginya kucing itu; kucing yang telah menyebabkan segala kerepotan ini. Aku telah bertekad bulat untuk membinasakannya. Bila aku melihatnya saat itu juga, maka tamatlah riwayatnya saat itu pula; namun, sepertinya hewan cerdik itu mengerti bahwa aku hendak menghabisi nyawanya, terutama setelah melihat betapa murkanya diriku sebelumnya, sehingga kurasa ia memilih untuk menghindariku dalam suasana hatiku yang sedang buruk ini. Sulit bagiku untuk mendeskripsikan secara rinci, atau untuk membayangkan, betapa dalam dan betapa bahagia serta leganya perasaanku dengan perginya makhluk menjijikkan itu. Bahkan hingga malam hari datang, ia masih tidak menampakkan batang hidungnya – dan untuk pertama kalinya, sejak kehadiran kucing itu di rumahku, aku dapat tidur dengan begitu nyenyak; ya, tidur dengan sangat nyenyak meskipun beban dari rasa bersalah karena telah melakukan pembunuhan masih menggelayuti jiwaku!

Hari kedua dan ketiga berlalu begitu saja, dan tetap, pegancam jiwaku itu masih belum menampakkan dirinya. Sekali lagi, aku sanggup bernapas seperti orang yang merdeka. Monster yang terus menghantuiku itu kini telah pergi entah kemana, untuk selamanya! Aku tak perlu lagi melihatnya! Inilah puncak kebahagiaanku! Rasa bersalah dari perbuatan jahatku memang masih mengganggu, tapi sangat sedikit saja. Beberapa pertanyaan memang telah bermunculan, namun semua telah terjawab. Bahkan pencarian pun telah dilakukan – namun tentu saja, tak ada yang dapat ditemukan. Aku merasa bahwa kebahagiaan masa depanku sudah terjamin dan aman.

Menginjak hari keempat setelah peristiwa pembunuhan itu, sekelompok polisi tanpa terduga, mendatangi rumahku, dan melakukan penyelidikan secara saksama ke seluruh penjuru rumah. Aku merasa aman, tempatku menyembunyikan jasad itu tak mungkin ditemukan, tak sedikitpun rasa bersalah terpancar dari wajahku. Para petugas kepolisian itu memintaku untuk turut menemani mereka melakukan penyelidikan ke sekeliling rumah. Tak ada celah atau satu sudut pun yang luput dari pengamatan mereka. Kemudian, setelah tiga atau empat kali berkeliling rumah, mereka memutuskan untuk turun ke gudang bawah tanah. Aku tak merasa tegang atau bergetar. Detak jantungku masih berdegup dengan tenang, seperti seseorang yang tengah tertidur dengan lelap. Aku berjalan menyusuri setiap sisi gudang itu. Tangan kulipat di depan dadaku, dan bergerak dengan santai kesana-kemari. Para petugas polisi tampaknya telah selesai meneliti ruangan itu dan mereka pun hendak beranjak pergi. Rasa bahagiaku bergelora di dalam dada dan sulit bagiku untuk menahan luapannya. Aku pun berucap kepada mereka, dengan nada yang penuh dengan kemenangan, dan untuk menegaskan kepada mereka bahwa aku tidak bersalah.

“Tuan-tuan,” aku berseru, ketika sekelompok polisi itu menaiki anak tangga, “Saya senang karena telah berhasil menjawab segala kecurigaan Anda semua. Saya harap Anda semua sehat selalu, dan semoga Anda dapat bersikap lebih sopan lain kali. Perlu Anda semua ketahui, tuan-tuan, ini adalah rumah yang dibangun dengan konstruksi terbaik.” (Dengan hasratku yang menggebu untuk mengatakan sesuatu yang sederhana, pada kenyataannya aku sama sekali tak tahu apa yang keluar dari mulutku) – “Saya yakin sekali, ini rumah yang dibangun dengan tepat. Dinding-dinding ini – Anda ikut, tuan-tuan? – dinding-dinding ini disusun dengan sempurna”; dan di sini, dengan keberanian yang tak masuk akal, aku menghantam dengan sekeras mungkin, menggunakan tongkat yang ada di dalam genggamanku, bagian dinding bata tempat aku menyembunyikan jasad istriku.

Namun, atas perlindungan Tuhan dan penyelamatan-Nya atas diriku dari mulut iblis! Tak lama setelah gema pukulan tongkatku pada dinding itu berhenti, aku mendengar suara yang berasal dari balik dinding tersebut! –suara tangisan yang mulanya tertahan namun kemudian pecah, seperti anak kecil yang menangis sesenggukan, lalu berlanjut menjadi suara teriakan panjang, nyaring dan terus-menerus, namun suara itu terdengar tidak biasa dan tidak seperti suara manusia – lebih tepatnya, seperti suara lolongan – memekik dengan lantang, sebagian terdengar seperti sesuatu yang menyeramkan tapi sebagian lagi terdengar seperti suara kemenangan seolah-olah suara itu berasal dari neraka. Seperti perpaduan suara jeritan yang keluar dari mulut mereka yang telah dikutuk, memekik kesakitan dan suara para iblis yang berska-ria menghukum para penghuni neraka tersebut.

Pikiran-pikiran tak keruan terlintas di dalam benakku, dan akan terdengar begitu bodoh jika kujelaskan. Aku gontai dan sempoyongan, hingga bersandar pada dinding di sisi lain. Selama beberapa saat, para petugas kepolisian yang masih berdiri di anak tangga hanya terdiam dan bergerak, mereka merasa heran dan sedikit ketakutan. Kemudian, selusin lengan yang kuat mulai menghantam-hantam dinding. Semua terasa sangat nyata. Jasad itu, dalam kondisi yang sudah membusuk dan bersimbah darah, berdiri dengan tegak di hadapan seluruh orang yang berada di dalam ruangan itu. Sementara di atas kepalanya, ada sesosok makhluk seram dengan mulut merah yang terbuka dan satu mata yang tampak seperti dipenuhi kobaran api, bertenggerlah monster yang telah mendorongku untuk melakukan pembunuhan itu, dan suara nyaringnya yang telah mengantarkanku ke tiang gantungan. Jadi, selama ini aku telah mengubur kucing monster itu di balik dinding!

Black Cat, Edgar Allan Poe - 2012 © copyright Sun Flowers.

#Draft (c: Elveleon.)

on 05.46



“Cinta itu egois, Leon. Nggak ada orang yang jatuh cinta itu nggak egois.Cinta menununtut orang yang dilanda cinta untuk egois.”
Leon masih diam tak bergeming dijendela kamarnya. Melihat langit malam yang berwarna oranye dengan diiringi oleh gemericik air mancur buatan dipelataran rumahnya dan gesekan ranting yang tertiup angin malam. Berusaha mencerna kata kata Seza.
‘Cinta itu butuh ambisi.’
Yang butuh ambisi itu cinta, kan? Cinta itu seperti apa sih bentuknya?
Leon masih merasakan angin malam yang perlahan menurunkan suhu badannya. Merangsek masuk melalui pori-pori kulitnya secara perlahan. Dan Ia tak memperdulikan hal itu. Pikirannya masih menerawang, berusaha mengenali dirinya sendiri. Mengenali perasaan yang mengubahnya, mengubah cara berpikirnya, mengubah ego-nya. Mengubah semuanya.
Ia lupa menanyakan kepada Seza, apa cinta mengubah cara pandang seseorang mengenai semuanya.
Dad? Dia bahkan diujung hidupnya, ia masih menenggak Wine dan menyembulkan wajahnya dari botol Wine sesaat sebelum nyawanya enggan bertahan lebih lama diraganya. Bagaimana aku bisa belajar tentang cinta kepadanya? Aku yakin Dad tidak pernah paham definisi cinta yang sebenarnya. Dad juga, aku yakin dia tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya.Dia hanya tau wanita murahan di pub yang bisa memuaskan nafsunya. Dia, menjijikkan. Aku tidak ingin membuang waktuku sia-sia hanya untuk mengingatnya.
Dan Mom? Aku merindukannya. Tapi...Mom jelas tidak bisa menjelaskan apa itu cinta yang sebenarnya.........
Entah mengapa Leon masih merasa takut untuk merasakan cinta. Menikmati rasanya bunga bunga cinta. Ia takut suatu hari nanti ia terjebak di cinta yang salah seperti yang telah terlukis dimasalalunya. Cerita cinta Mom-nya.
Apa kelainan Mom bisa menular padaku?  Tanyanya dalam hati.
Ia sadar ia telah dewasa. Ia pantas tau rasanya jatuh cinta. Tapi sekan akan masa lalu menahannya, menjeratnya untuk kembali melihat goresan cinta dimasa lalunya yang terlukis kelam. Bukan goresan cinta yang ia buat sendiri, tetapi buatan kedua orang tuanya.
Kini bertambahlah pertanyaan yang ia masih takut untuk tanyakan kepada Seza.
Apakah cinta masih menerima orang dengan masalalu kelam sepertinya? Apakah cinta masih mau menghangatkan hatinya yang selama ini terbengkalai dan menjadi puingan dingin nan beku? Apakah cinta masih sudi menuntunnya menuju kebahagiaan?
Apakah itu tidak mustahil?

Peluk

on 05.34

di atas bau rumput bekas hujan tadi malam
kunikmati kau dalam adamu, dalam caramu
di dalam riuh rendah suara di dekat suara
kudengar hatiku melewati hadirmu

di batas senyumanmu aku memutuskan berhenti
lalu kamu diamdiam berlari ke dalam hati
mencuri yang seharusnya tidakboleh dicuri
lalu kamu mencuri, kamu pencuri

adalah kamu, rasa yang datang merapat
terus menjauh seperti sekiranya sementara
malam ketika kita berpagut dalam pelukan
menit-menit berhenti dalam dekapan




aku hanya mampu mengerang berang
dalam bayang dalam layang dalam sayang
air dari mata dan hati jatuh ke pipiku
tidak bisakah aku berhenti kehilangan?

lalu jatuh dalam lubang yang sama berkalikali
aku seperti keledai terbodoh yang pernah ada
selalu kucoba namun aku tak mampu
tak merindukanmu

tidak bisakah kita memberi jeda pada waktu dunia
saling berhenti di tengah jalan lalu saling memeluk?
atau ditambah mencium atau berpagut?
karena rindu ini tidak lagi mampu diredam, aku remuk.

bukankah kita tahu sama tahu
kita tidak dapat kekal dalam ikatan
pun cinta yang kusemai tanpa perlu kautahu
aku berharap pada peluk yang menusuk

engkau samudra luas yang membiru
aku yang memeluk dalam relung dan ombakmu
seperti saat kita pernah berjalan di atas pasir
menyusuri hati masing masing sambil menerus berpeluk

harusnya aku telah melupakanmu
dalam bayang dalam deru dalam napsu
namun aku tak bisa  melupakan
semua bayang semua deru semua napsu

malam menjauh pun denganmu
lagilagi kita terpisah
maukah kau sekadar berhenti lalu memelukku kembali
dan mengatakan semua baikbaik saja?

Lalu ketika rasa ini
hanya tinggal gelombang
dan pergi menjauh
kau benar-benar tiada

kenapa jatuh cinta semudah ini?
semudah kau memberi pelukan padaku.
tapi, kenapa dicintai sesulit ini?
sesulit kau mengatakan cinta kepadaku.

[without tittle....just little request from my friend]

on 05.21

Salju masih turun ketika itu
ketika mata abu-abu itu berpapasan dengan milikku
kontras rambut cokelatnya menyentuh punggung, diantara serpih salju yang turun ditarik gravitasi
derit sepatu masing masing disertai desiran angin mengiringi langkah kita yang semakin menjauh
sederhana dan singkat
bahkan tanpa sedikitpun suara darimu
satu....dua...mungkin hanya sepuluh detik
sepuluh detik yang akan membuat hidupku tak lagi sama
waktu yang singkat. waktu yang terlampau singkat untuk mengakui....
aku jatuh cinta padamu.
aku sempat menyangkalnya. sekuat aku berusaha menari garisku agar tak lagi membentur hidupmu
aku lupa jika ini takdir. bukan sebuah kebetulan.
dan sekarang aku mengakui jika aku gagal
gagal meyakini diriku sendiri jika kau hanyalah bayangan hitam yang tak berwujud
gagal meyakinkan diriku sendiri jika perasaan ini hanya ilusi
gagal mengakui aku jatuh cinta denganmu
aku mencintaimu, sekalipun itu keliru. sekalipun itu hanya kelabu
kau nyata, tidak seperti peran yang selama ini kau mainkan dibingkai layar kaca
tidak seperti skrip film dan iklan yang sering kau mainkan.
kau nyata. begitupun cintaku untukmu. nyata.
di lirik-lirik yang kubuat ini, aku menyisipkan bayanganmu disana
membiarkan kau menari-nari diantara nada ringan yang kumainkan
kuijinkan kau mengendalikan semua emosiku kelita kuucapkan kata demi kata berbirama itu
berharap kau sadar, sepuluh detik yang kau berikan padaku membuatku bingung
menjadi kendalaku untuk tidak mengingatmu
untuk tidak mengharapkanmu disini. disini untuk kumiliki
kuakhiri penyangkalanku, kuakhiri masa dramatisku
kubuat pernyataanku. kau harus tau, harus mendengarnya.

aku mencintaimu. dan aku ingin menjadi pelindungmu.
menjadi seseorang yang selalu melindungimu.
menjadi sosok yang selalu menanam butir kebahagiaan dilorong hatimu yang sepi.
menjadi sosok yang bersamamu ketika kau membengun sebuah istana. keluarga.

#Draft 1. (c: Seza & Leon)

on 04.41



“Seza, memangnya kamu pernah jatuh cinta?” tanya Leon. Dua sosok remaja itu masih terus melangkah dengan ritme lambat. Menyusuri trotoar tanpa tujuan yang pasti.
“suka, jatuh cinta, patah hati. Aku sudah pernah merasakan semuanya. Memangnya kenapa?” Seza menjawabnya dengan pandangan menerawang. Seakan akan kembali mengingat bagaimana cara ia mencintai seseorang secara diam-diam, dan berakhir dengan ia yang mengalah, mundur teratur. Sakit.
“apa cinta itu menyedihkan?” tanya Leon lagi. Seza mengerti, Leon bukanlah orang yang paham apa itu cinta sebenarnya. Ia hanya mengetahui teori cinta yang bejibun.  Intinya, Leon sangat membenci apa itu cinta. Keluarganya lah yang membuatnya tak mau berurusan dengan cinta.
“tidak selamanya. Ada saat indah, ada saat bahagia, ada saatnya juga air mata menjadi peran utama. Bagaimana cara kita menyikapinya aja, sih. Kenapa? Masih takut untuk jatuh cinta?”
Langit semakin gelap. Bukan karena matahari yang akan memulai aktivitasnya dibelahan bumi lain, melainkan awan abu-abu pekat diatas mereka yang sepertinya akan berubah menjadi titik-titik hujan. tapi mereka masih bertahan diritme langkah mereka. Tidak ada keinginan untuk berjalan lebih cepat atau mencari tempat berlindung dari tumpahan hujan. mereka menikmati langkah demi langkah mereka.
“entah.” Jawab Leon singkat. Dan bimbang. Cinta? Jatuh cinta? Seperti apa?
“cinta itu nggak butuh teori. Suka, jatuh cinta, cinta, kecewa, sakit hati. Semuanya nggak butuh teori.” Jelas Seza. Leon semakin ingin tahu apa itu cinta. Cinta yang sebenarnya. Walaupun ketakutannya pada masalalu membuatnya masih enggan untuk mulai masuk kedunia cinta-cintaan.
“apa bedanya? Maksudku, sesuai yang pernah kamu rasain. Suka, jatuh cinta, cinta.....apalah itu.”
Seza tersenyum menatap langit yang semakin kelam. Massa awan sepertinya sudah cukup berat diatas sana. ia memutuskan masuk ke sebuah tempat makan yang ada disamping trotoar. Leon mengikutinya tanpa protes. Sebenarnya, mereka sudah melewatkan jam makan siang untuk hari ini.
“suka, emmm sama seperti fans ke idolanya. Hanya sekedar rasa suka.  Tanpa ada getaran khusus yang mungkin terselip dihati salah satu dari keduanya saat bertemu. Kalau Jatuh cinta....” Seza memotong ucapannya sebentar sambil berfikir dan menerawang. “sama seperti suka, hanya saja.....pokoknya ada hal hal khusus yang nggak bisa disebutkan dalam teori deh.”
Leon hanya mengangguk. Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pelayan rumah makan itu menghampiri mereka sekedar menulis pesanan keduanya.
“lalu apa pendapatmu tentang cinta yang egois?” tanya Leon lagi. Seza tak menggerutu ataupun sejenisnya ketika Leon bertanya terus menerus kepadanya. Ia tidak mengeluh.
“cinta itu egois, Leon. Nggak ada orang jatuh cinta yang egois. Cinta menuntut orang yang dilanda cinta untuk egois. Contohnya simpel, merasa nggak mau kehilangan. Mungkin banyak yang bilang itu hanya ambisi. Tapi cinta memang butuh ambisi kan? Hanya sekedar untuk mempertahankan apa yang telah kita miliki.”
“jadi itu wajar?”
Seza mengangguk. Percakapan mereka terhenti kembali ketika sang pelayan restoran datang membawakan dua porsi pesanan mereka. Mereka makan dalam diam, sejenak menikmati hujan yang mulai membasahi pelataran Jl. Embong Malang, Surabaya. Kendaraan yang melintasi jalan protokol itu mulai memperlambat kecepatannya, walaupun sebagian orang yang mengendarai roda dua memilih berhenti.
“kau....jatuh cinta?” tanya Seza to the point. Leon hampir tersedak mendengar ucapan Seza dan memilih mengendikan bahunya.
Cinta? Apa aku masih pantas jatuh cinta? Merasakan indahnya cinta. Membiarkan keindahan cinta membelenggu kesadarannya. Mengijinkan cinta mengendalikan sebagian dari tubuhnya?
“entahlah. Aku benar benar belum mengerti cinta.”

Untuk Luka Dimasa Lalu

on 21.57


Ini malam. Aku tahu. Tapi aku enggan beranjak dari tempat ini, walaupun angin malam sepertinya akan membuatku mati beku. Aku masih terkesiap akan pertanyaan yang ia ajukan tadi pagi. Sebaris pertanyaan sederhana yang membuat goresan luka cukup dalam.
“kemarin aku jadian sama dia.” Ujarnya. Aku hanya bisa menoleh dengan alis mengkerut.
“dia? Siapa?” tanyaku. Berusaha memastikan. Aku sebenarnya tahu siapa yang ia maksud. Hanya saja aku tidak mau membuat opini sepihat. Aku mengijinkan telingaku mendengar pernyataannya.
“Chendra.” Hening. Pernyataannya membuatku bingung entah apa yang harus kuucapkan sebagai jawaban. Aku masih terpaku atas kebenaran dari opini sepihakku. “ maaf” katanya lagi.
Aku berusaha menahan air mataku untuk tidak jatuh sia sia. Tapi percuma. Air mata itu jatuh bersama perasaan sakit, perih dan terhina yang dengan luar biasanya menguasai seluruh emosiku. Aku tidak menamparnya, ataupun mendatangi Chendra yang lima belas menit lalu kutemui dilapangan basket untuk mengungkapkan seluruh kekecewaanku.
Kecewa. Ya, aku kecewa. Dia –sahabatku, yang selama ini mengaku sebagai sahabatku– dengan gampangnya menyakiti aku yang baru saja merasakan indahnya cinta. Tapi apa aku harus menyalahkannya? Atau menyalahkan Chendra karena ia juga diam diam menyukai sahabatku sendiri?
Aku pulang dengan mata bengkak, merah dan keadaan yang menyedihkan. Mungkin mereka mengataiku bodoh karena menangisi dua orang yang sedang jatuh cinta yang mungkin saja sama sekali tidak sedang memperdulikanku. Tapi kau tau rasanya dikhianati oleh seorang yang selama ini kau patenkan sebagai sahabatmu?
Dua belas jam berlalu, perih itu masih sangat terasa. Membuat pipiku becek oleh tumpahan air mataku sendiri. Aku, perempuan kecil yang baru saja memasuki area kebahagiaan dari sebuah perasaan yang dibilang cinta, kini terperosok kedalam jurang yang gelap, hitam, dan menghasilkan luka batin yang luar biasa sakit. Aku tak bisa bergerak lebih. Aku hanya bisa terdiam, mengobati luka luka itu sendiri dan kembali memulai usahaku untuk mendaki keluar dari jurang itu. Belajar menerima keadaan dan bersikap dewasa.
“harusnya kamu bisa marah sama mereka. Kamu umpat aja mereka. Mereka pengkhianat, me.” Ujar seorang teman yang satu-satunya bisa menjadi tempat sampahku untuk saat ini. Aku tersenyum, merusaha menepis lukisan muram di wajahku, walaupun aku tahu itu akan percuma.
“aku marah kok, kecewa, bahkan mengumpat mereka dalam hati. Lagian untuk masalah perasaan, memangnya ada kata salah? Bukannya cinta bisa menikam siapa saja walau tanpa logika?” kataku sendu. Aku masih menyimpan luka itu saat aku berkata demikian. Aku semakin membenci mereka saat aku berusaha menerima kenyataan. Sungguh, itu percuma.
Percuma? Ya, itu percuma saat aku masih merasa kecewa dengan mereka.  Bagiku kini, itu hanyalah seuntai lagu kelam masalalu yang pernah terjadi dalam hidupku. Lagu yang dibuat pada tanggal 13 Desember.
(untuk yang pernah mengisi hatiku : S-A-A. :’) )

Bertemu Kembali

on 07.59


Senyuman itu datang saat kau kembali. mengusir semua rasa khawatir yang sempat berpangku. membunuh setiap senti sebuah perasaan yang sering kubilang rindu. menumpahkan semua air mata bahagia. apa kau tahu betapa bahagianya aku masih mampu melihatmu lagi? masih ada sisa emosi saat kau tanyakan kabarku, walaupun rasa senang itu lebih pekat dari segalanya.
Kau tahu betapa gilanya aku saat kau menghilang? Aku merasa semuanya kosong. Tak ada yang bisa kurasakan kecuali benih rindu itu semakin merambat menjalar meracuni akal sehatku.  Aku bahkan membutuhkan waktu untuk berdamai dengan kenyataan. Belajar membedakan bayangan imajiner yang menyerupai dirimu, dengan kenyataan jika kau menghilang dan tidak akan sudi mengingatku lagi. aku bahkan takut kau benar benar tak mau mengingatku lagi. aku takut kau akan membenciku. Aku takut kau akan membuat hidupku semakin kacau dengan cara membenciku.
Aku merindukan pelukanmu. Pelukan yang membuatku hangat ketika aku merasa suhu semakin menurun. Merindukan suara mu dari speaker kecil yang terletak disisi kanan ponsel. Merindukan textingmu diinbox dan mentionku. Merindukan genggaman tanganmu yang mampu menyemangatiku. Merindukan bau tubuhmu. Semuanya. Semuanya tentangmu, aku merindukan semuanya.
Kini kau dihadapanku, menawarkan pelukan hangat untukku. Suaramu saat menanyakan kabarku, membuat aku hidup dialam mimpi. Tidak, ini kenyataan. kedua kalinya, kau bertanya “bagaimana kabarmu?” kepadaku. Membuat saraf-sarafku bekerja dua kali lebih jeli memperhatikan bayanganmu dan mendengar suaramu. Aku hanya takut, sosok didepanku saat ini masih berselimut garis garis halus yang nantinya saat kucoba raih akan berubah menjadi bayangan transparan. Aku takut kau akan mengeluarkan gumpalan asap tebal secara tiba-tiba dan kau akan menghilang bersamanya.
Nyatanya tidak. Kau masih disini. Terdiam menunggu jawabanku dengan senyuman yang sangat kurindukan. Aku memberanikan diri menghambur kepelukanmu ditengah dinginnya angin malam.
“Saat kau menghilang, aku selalu memikhirkanmu, mengkhawatirkanmu, menanyakan keadaanmu, memutar kembali bayanganmu, kenangan tentangmu. Walau aku benar-benar tak menginginkannya.” Kataku disela-sela tangisku. Ia masih disana. Terdiam sambil membelai punggungku. Aku ingin terus seperti ini, menikmati pelukan yang sangat kurindukan. Untuk bekal jika saja sewaktu waktu kau akan menghilang lagi. tapi kau melepasnya perlahan dan mengajakku menatap langit malam berwarna merah.
“setelah ini hujan. kau harus pulang. Kita bertemu lagi besok. Aku akan menjemputmu.” Ujarnya. Aku mengangguk, walau berat. Lalu mengikutinya menuju motor merah yang tak lagi asing dimataku.
“happy anniv, sayang.” Ujarnya lagi saat motor itu mulai melaju. Aku mendengarnya, namun hanya tersenyum. Membiarkan kenangan itu muncul kembali. Tanpa dibingkai oleh perasaan rindu yang mengeras, tetapi kehangatan akan efek kebahagiaan yang mulai menyebar.

[ ]

on 18.12

kutemukan sebaris namamu disela hati yang memar.
memutar kembali semua yang sempat terekam dalam ingatanku.
dingin msih memelukku erat, berusaha membekukan mataku agar tak mencairkan setetes airpun dari sana.
aku kembali mengingatmu.
tidak, aku tidak pernah melupakanmu.
walaupun aku selalu tahu kau selalu berusaha untuk melupakanku. menghindariku.
seberkas rasa sakit itu muncul lagi.
semakin mengacaukan usaha sang dingin untuk mematirasakan setiap sarafku.
aku merindukanmu. hanya itu.
pernahkau kau merindukanku seperti ini?
pernahkah aku membuat perih padamu seperti ini?
aku merasakannya. dan itu menyiksaku.
aku bahkan tak berani mengatakan setiap perasaan rindu yang beralamat untukmu.
kau membenciku. kau berusaha melupakanku. menghindariku.
tapi, apakah dengan cara ini kau akan membuatku membencimu?
bodoh. kau salah. aku tidak pernah bisa membencimu.
kau terlalu berharga untuk kubenci.
apa dengan menghindariku kau fikir aku bisa melupakanmu? atau sebaliknya?
kupikir kau salah. sampai detik ini kau masih berlarian dipikiranku.
dan aku rasa, kau juga masih mengingatku.
ijinkan aku melihat senyummu yang dulu selalu menghiasi hariku.
ijinkan aku merasakan kembali kedekatan yang pernah ada antara kita.
apa aku salah, mengharapkanmu mau memaafkanku? mau mengenalku lagi?
apa salah jika aku mempunyai perasaan padamu?
apa aku berhak kau benci hanya karena aku menyayangimu lebih dari teman?
tidak adil.  kau tidak tahu betapa tersiksanya aku.
aku merasa bersalah telah menyukaimu. dasar jahat!
aku merasa terhina atas perasaanku.

p e r p i s a h a n

on 05.26


Satu kata yang sangat aku takuti.
Perpisahan. Semua orang pernah merasakan hal itu bukan? Suatu kejadian dimana kau akan kehilangan seseorang yang kau kenal, yang kau sayang, bahkan yang kau cintai. Well, perpisahan itu bukan hal baru dalam kehidupan. Setiap manusia yang hidup, jelaas pernah merasakan apa itu perpisahan.
Perpisahan terjadi disetiap jenjang kehidupan. Tua ataupun muda. Aku tau itu. Kau pun tau itu. Hanya saja yang sampai sekarang aku belum pernah mengerti, mengapa setiap manusia dimuka bumi ini selalu sedih, kecewa, bahkan putus asa jika dihadapkan pada perpisahan. Padahal, sudah puluhan arti, makna, definisi, penjelasan dan sebagainya mengenai perpisahan. Seperti, perpisahan adalah akhir dari pertemuan, setiap ada pertemuan pasti akhirnya perpisahan. Yesseu, setiap orang paham akan hal itu, bukan?
Tapi walaupun mereka paham apa itu arti perpisahan, apa itu definisi tentang perpisahan, mengapa mereka masih menangis dan merasakan keterkejutan saat dihadapkan pada suatu perpisahan? Mengapa mereka seakan akan belum siap menghadapi perpisahan, walaupun mereka sebenarnya tahu itu akan terjadi?
Terlebih orang yang kita sayang. Kita tidak akan pernah siap, untuk kehilangan dan berpisah dengannya. Walaupun Tuhan sudah menggariskan, bahwa kita sewaktu waktu akan kehilangannya. Akan berpisah dengannya. Menyedihkan. Aku sendiri heran, mengapa perpisahan itu sakit. Mengapa perpisahan itu menyakitkan. Merasakan perpisahan itu seperti......entahlah. aku tidak bisa mendefinisikannya. Apapun bentuknya, perpisahan adalah hal yang paling menyakitkan untukku.
Adakah hal yang lebih menyakitkan lagi selain kehilangan dan perpisahan?
Perpisahan pasti akan datang.  Kita tidak tahu kapan. Kita tidak bisa mencegah perpisahan agar tidak datang kepada kita. Kita juga tidak bisa memohon pada Tuhan agar supaya kita tidak mengalami perpisahan. Yang kita perlukan hanya, kita siap mental untuk menghadapinya. Kita harus tau bahwa perpisahan pasti akan datang disela-sela indahnya pertemuan dan manisnya  hidup.
Dan sadar, jika kenyataan tak seindah angan angan

Insane ( BTOB's )

on 07.48



(oh oh oh oh baby without you)
When I walked you back home, it was the house of another guy
I felt like you always walked a bit frarther from me when there were a lot of people
Just like a big baloon shrinking down, we have cooled down
I can’t hide my frustated heart
What went wrong?
It’s always the same as last night –you turn away from me
I’m so tired of me always being the clingy one.
Because to me, it always you –I always trusted you
So every night it’s lonely, miresable  tiring.
I will leave you so i will get to hate you
Now I won’t clingy onto you anymore
I’m gonna be better –it’s better if I’m not here
Especially today, you have so many secret.
You make me go Insane
(s)he gives me so much pain
I won’t be back again, I wanna hate you
(you always pretend nothing is wrong
Did you have to pick up the phone right now?)
You make me go insane
(s)he gives me so much pain
I won’t be back again
Every night you always turn away from me
(Going back before I met you –riding now, say goodbye)
Although it’s hard to let you go without regret
It still hasn’t hit me yet about you
The promises we made are gone with the wind
The only remaining thing is your cold eyes
Like a wretch, I still miss your smile
I hate myself for that
I still can’t acknowledge that it’s the end for you and me.
I wish I could die.
I will leave you so i will get to hate you
Now I won’t clingy onto you anymore
I’m gonna be better –it’s better if I’m not here
Especially today, you have so many secret.
You make me go Insane
(s)he gives me so much pain
I won’t be back again, I wanna hate you
(you always pretend nothing is wrong
Did you have to pick up the phone right now?)
You make me go insane
(s)he gives me so much pain
I won’t be back again
The memories of when I first saw you become faint
The love swing has stopped
I board the train that will never comeback
I’ll let you go, I’ll let you go.
I’ll throw it all away, now I’ll let in all go
You can leave me now.
Don’t ever look for me –thought my heart hurts
So I can forget you
I will leave you so i will get to hate you
Now I won’t clingy onto you anymore
I’m gonna be better –it’s better if I’m not here
Especially today, you have so many secret.
You make me go Insane
(s)he gives me so much pain
I won’t be back again, I wanna hate you
(you always pretend nothing is wrong
Did you have to pick up the phone right now?)
You make me go insane
(s)he gives me so much pain
I won’t be back again

Role Play World

on 00.59


Di dunia ini aku bertemu denganmu. ya. Dunia yang serba ganjil dan maya seperti inilah aku jatuh cinta denganmu. Denganmu yang selalu membuatku berimajinasi tentang wajah aslimu. Aku menyukaimu. Sadar enggak kalo selama ini perhatianku ke kamu itu sebenernya bukan cuma-cuma loh. Aku menyukaimu. Ya. Menyukai sifat humorismu :’)
Ah, betapa tidak sopannya aku nyerocos panjang lebar tanpa menanyakan kabarmu. Bagaimana kabarmu? Apa kau sehat si sana? heung. Bisakah suatu hari nanti kau dan aku bertemu walaupun kita dipisahkan oleh jarak yang tidak hanya terhitung dua digit angka? Aku ingin sekali mengetahui wajah asli seseorang yang telah merebut hatiku. Salahkah?
Apa kau tidak tanya bagaimana bisa aku menyukaimu? Ah iya, kau kan tidak tahu perasaanku. Bagaimana kau bisa bertanya? Bodohnya aku. Lupakan, aku tidak pernah berharap kau tau kok. Sama sekali tidak berharap.
Eum, yaaa, aku menyukaimu dimulai karena aku menukai textingmu. Kau care. Baik. Humoris. Dan selalu membuatku nyaman. Aku senang merasakannya. Namun aku sadar kalau ini Cuma dunia maya. Ya, aku hanya bisa memilikimu seorang diri. Salah, maksudku memiliki bayanganmu. Aku tidak bisa memilikimu seutuhnya karena ini –ya kau tahu sebenarnya dimana aku terdampar– hanya dunia maya. Sedangkan aku tidak bisa memiliki hatimu karena kau telah mengisinya dengan nama perempuan lain. Yang pasti bukan aku. :)
Salahkah aku menyukaimu? Jelas salah. Aku mengenalmu sebagai seorang artis Korea papan atas, dan kau mengenalku sebagai Model Fashion Korea yang terkenal. Kita tidak saling mengenal ID kita sebenarnya, bukan? Jadi, pada siapa aku jatuh cinta kini? Pada dirimu yang asli, textingmu, atau artis yang kau perankan?
Cinta memang hebat. Ia mampu datang disaat yang tidak terduga, dan dikeadaan apapun. Logis dan tidak logis. Siapa yang harus kusalahkan? Cinta? Bukankah cinta tidak pernah salah? Apakah pihak Twitter yang harus kumintai peranggungjawaban karena dari sanalah aku mengenalmu? Atau penggagas Role Play lah yang harus aku benci karena di dunia itulah aku merasa, jatuh cinta denganmu? jadi, siapa yang perlu kusalahkan.
Aku yakin, kau disana –disebelah– kau juga punya banyak penggemar. Jelas. Kau mafia RP. Mungkin kau mempunyai lebih dari 2 akun RP yang kuketahui. Akupun begitu, mempunyai beberapa akun RP yang juga diantaranya memerankan Ulzzang –tentu saja– berbeda. Jadi, sangat mungkin terjadi aku jatuh cinta denganmu, dan kau jatuh cinta juga....dengan dia, yang lainnya, yang ada disebelah.
Jika suatu hari nanti kau pergi, aku pasti akan sangat sedih. Apakah kau akan merasakan hal yang sama jika aku akan pergi dari dunia Role Play? :’)