#Draft (c: Elveleon.)

on 05.46



“Cinta itu egois, Leon. Nggak ada orang yang jatuh cinta itu nggak egois.Cinta menununtut orang yang dilanda cinta untuk egois.”
Leon masih diam tak bergeming dijendela kamarnya. Melihat langit malam yang berwarna oranye dengan diiringi oleh gemericik air mancur buatan dipelataran rumahnya dan gesekan ranting yang tertiup angin malam. Berusaha mencerna kata kata Seza.
‘Cinta itu butuh ambisi.’
Yang butuh ambisi itu cinta, kan? Cinta itu seperti apa sih bentuknya?
Leon masih merasakan angin malam yang perlahan menurunkan suhu badannya. Merangsek masuk melalui pori-pori kulitnya secara perlahan. Dan Ia tak memperdulikan hal itu. Pikirannya masih menerawang, berusaha mengenali dirinya sendiri. Mengenali perasaan yang mengubahnya, mengubah cara berpikirnya, mengubah ego-nya. Mengubah semuanya.
Ia lupa menanyakan kepada Seza, apa cinta mengubah cara pandang seseorang mengenai semuanya.
Dad? Dia bahkan diujung hidupnya, ia masih menenggak Wine dan menyembulkan wajahnya dari botol Wine sesaat sebelum nyawanya enggan bertahan lebih lama diraganya. Bagaimana aku bisa belajar tentang cinta kepadanya? Aku yakin Dad tidak pernah paham definisi cinta yang sebenarnya. Dad juga, aku yakin dia tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya.Dia hanya tau wanita murahan di pub yang bisa memuaskan nafsunya. Dia, menjijikkan. Aku tidak ingin membuang waktuku sia-sia hanya untuk mengingatnya.
Dan Mom? Aku merindukannya. Tapi...Mom jelas tidak bisa menjelaskan apa itu cinta yang sebenarnya.........
Entah mengapa Leon masih merasa takut untuk merasakan cinta. Menikmati rasanya bunga bunga cinta. Ia takut suatu hari nanti ia terjebak di cinta yang salah seperti yang telah terlukis dimasalalunya. Cerita cinta Mom-nya.
Apa kelainan Mom bisa menular padaku?  Tanyanya dalam hati.
Ia sadar ia telah dewasa. Ia pantas tau rasanya jatuh cinta. Tapi sekan akan masa lalu menahannya, menjeratnya untuk kembali melihat goresan cinta dimasa lalunya yang terlukis kelam. Bukan goresan cinta yang ia buat sendiri, tetapi buatan kedua orang tuanya.
Kini bertambahlah pertanyaan yang ia masih takut untuk tanyakan kepada Seza.
Apakah cinta masih menerima orang dengan masalalu kelam sepertinya? Apakah cinta masih mau menghangatkan hatinya yang selama ini terbengkalai dan menjadi puingan dingin nan beku? Apakah cinta masih sudi menuntunnya menuju kebahagiaan?
Apakah itu tidak mustahil?

Peluk

on 05.34

di atas bau rumput bekas hujan tadi malam
kunikmati kau dalam adamu, dalam caramu
di dalam riuh rendah suara di dekat suara
kudengar hatiku melewati hadirmu

di batas senyumanmu aku memutuskan berhenti
lalu kamu diamdiam berlari ke dalam hati
mencuri yang seharusnya tidakboleh dicuri
lalu kamu mencuri, kamu pencuri

adalah kamu, rasa yang datang merapat
terus menjauh seperti sekiranya sementara
malam ketika kita berpagut dalam pelukan
menit-menit berhenti dalam dekapan




aku hanya mampu mengerang berang
dalam bayang dalam layang dalam sayang
air dari mata dan hati jatuh ke pipiku
tidak bisakah aku berhenti kehilangan?

lalu jatuh dalam lubang yang sama berkalikali
aku seperti keledai terbodoh yang pernah ada
selalu kucoba namun aku tak mampu
tak merindukanmu

tidak bisakah kita memberi jeda pada waktu dunia
saling berhenti di tengah jalan lalu saling memeluk?
atau ditambah mencium atau berpagut?
karena rindu ini tidak lagi mampu diredam, aku remuk.

bukankah kita tahu sama tahu
kita tidak dapat kekal dalam ikatan
pun cinta yang kusemai tanpa perlu kautahu
aku berharap pada peluk yang menusuk

engkau samudra luas yang membiru
aku yang memeluk dalam relung dan ombakmu
seperti saat kita pernah berjalan di atas pasir
menyusuri hati masing masing sambil menerus berpeluk

harusnya aku telah melupakanmu
dalam bayang dalam deru dalam napsu
namun aku tak bisa  melupakan
semua bayang semua deru semua napsu

malam menjauh pun denganmu
lagilagi kita terpisah
maukah kau sekadar berhenti lalu memelukku kembali
dan mengatakan semua baikbaik saja?

Lalu ketika rasa ini
hanya tinggal gelombang
dan pergi menjauh
kau benar-benar tiada

kenapa jatuh cinta semudah ini?
semudah kau memberi pelukan padaku.
tapi, kenapa dicintai sesulit ini?
sesulit kau mengatakan cinta kepadaku.

[without tittle....just little request from my friend]

on 05.21

Salju masih turun ketika itu
ketika mata abu-abu itu berpapasan dengan milikku
kontras rambut cokelatnya menyentuh punggung, diantara serpih salju yang turun ditarik gravitasi
derit sepatu masing masing disertai desiran angin mengiringi langkah kita yang semakin menjauh
sederhana dan singkat
bahkan tanpa sedikitpun suara darimu
satu....dua...mungkin hanya sepuluh detik
sepuluh detik yang akan membuat hidupku tak lagi sama
waktu yang singkat. waktu yang terlampau singkat untuk mengakui....
aku jatuh cinta padamu.
aku sempat menyangkalnya. sekuat aku berusaha menari garisku agar tak lagi membentur hidupmu
aku lupa jika ini takdir. bukan sebuah kebetulan.
dan sekarang aku mengakui jika aku gagal
gagal meyakini diriku sendiri jika kau hanyalah bayangan hitam yang tak berwujud
gagal meyakinkan diriku sendiri jika perasaan ini hanya ilusi
gagal mengakui aku jatuh cinta denganmu
aku mencintaimu, sekalipun itu keliru. sekalipun itu hanya kelabu
kau nyata, tidak seperti peran yang selama ini kau mainkan dibingkai layar kaca
tidak seperti skrip film dan iklan yang sering kau mainkan.
kau nyata. begitupun cintaku untukmu. nyata.
di lirik-lirik yang kubuat ini, aku menyisipkan bayanganmu disana
membiarkan kau menari-nari diantara nada ringan yang kumainkan
kuijinkan kau mengendalikan semua emosiku kelita kuucapkan kata demi kata berbirama itu
berharap kau sadar, sepuluh detik yang kau berikan padaku membuatku bingung
menjadi kendalaku untuk tidak mengingatmu
untuk tidak mengharapkanmu disini. disini untuk kumiliki
kuakhiri penyangkalanku, kuakhiri masa dramatisku
kubuat pernyataanku. kau harus tau, harus mendengarnya.

aku mencintaimu. dan aku ingin menjadi pelindungmu.
menjadi seseorang yang selalu melindungimu.
menjadi sosok yang selalu menanam butir kebahagiaan dilorong hatimu yang sepi.
menjadi sosok yang bersamamu ketika kau membengun sebuah istana. keluarga.

#Draft 1. (c: Seza & Leon)

on 04.41



“Seza, memangnya kamu pernah jatuh cinta?” tanya Leon. Dua sosok remaja itu masih terus melangkah dengan ritme lambat. Menyusuri trotoar tanpa tujuan yang pasti.
“suka, jatuh cinta, patah hati. Aku sudah pernah merasakan semuanya. Memangnya kenapa?” Seza menjawabnya dengan pandangan menerawang. Seakan akan kembali mengingat bagaimana cara ia mencintai seseorang secara diam-diam, dan berakhir dengan ia yang mengalah, mundur teratur. Sakit.
“apa cinta itu menyedihkan?” tanya Leon lagi. Seza mengerti, Leon bukanlah orang yang paham apa itu cinta sebenarnya. Ia hanya mengetahui teori cinta yang bejibun.  Intinya, Leon sangat membenci apa itu cinta. Keluarganya lah yang membuatnya tak mau berurusan dengan cinta.
“tidak selamanya. Ada saat indah, ada saat bahagia, ada saatnya juga air mata menjadi peran utama. Bagaimana cara kita menyikapinya aja, sih. Kenapa? Masih takut untuk jatuh cinta?”
Langit semakin gelap. Bukan karena matahari yang akan memulai aktivitasnya dibelahan bumi lain, melainkan awan abu-abu pekat diatas mereka yang sepertinya akan berubah menjadi titik-titik hujan. tapi mereka masih bertahan diritme langkah mereka. Tidak ada keinginan untuk berjalan lebih cepat atau mencari tempat berlindung dari tumpahan hujan. mereka menikmati langkah demi langkah mereka.
“entah.” Jawab Leon singkat. Dan bimbang. Cinta? Jatuh cinta? Seperti apa?
“cinta itu nggak butuh teori. Suka, jatuh cinta, cinta, kecewa, sakit hati. Semuanya nggak butuh teori.” Jelas Seza. Leon semakin ingin tahu apa itu cinta. Cinta yang sebenarnya. Walaupun ketakutannya pada masalalu membuatnya masih enggan untuk mulai masuk kedunia cinta-cintaan.
“apa bedanya? Maksudku, sesuai yang pernah kamu rasain. Suka, jatuh cinta, cinta.....apalah itu.”
Seza tersenyum menatap langit yang semakin kelam. Massa awan sepertinya sudah cukup berat diatas sana. ia memutuskan masuk ke sebuah tempat makan yang ada disamping trotoar. Leon mengikutinya tanpa protes. Sebenarnya, mereka sudah melewatkan jam makan siang untuk hari ini.
“suka, emmm sama seperti fans ke idolanya. Hanya sekedar rasa suka.  Tanpa ada getaran khusus yang mungkin terselip dihati salah satu dari keduanya saat bertemu. Kalau Jatuh cinta....” Seza memotong ucapannya sebentar sambil berfikir dan menerawang. “sama seperti suka, hanya saja.....pokoknya ada hal hal khusus yang nggak bisa disebutkan dalam teori deh.”
Leon hanya mengangguk. Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pelayan rumah makan itu menghampiri mereka sekedar menulis pesanan keduanya.
“lalu apa pendapatmu tentang cinta yang egois?” tanya Leon lagi. Seza tak menggerutu ataupun sejenisnya ketika Leon bertanya terus menerus kepadanya. Ia tidak mengeluh.
“cinta itu egois, Leon. Nggak ada orang jatuh cinta yang egois. Cinta menuntut orang yang dilanda cinta untuk egois. Contohnya simpel, merasa nggak mau kehilangan. Mungkin banyak yang bilang itu hanya ambisi. Tapi cinta memang butuh ambisi kan? Hanya sekedar untuk mempertahankan apa yang telah kita miliki.”
“jadi itu wajar?”
Seza mengangguk. Percakapan mereka terhenti kembali ketika sang pelayan restoran datang membawakan dua porsi pesanan mereka. Mereka makan dalam diam, sejenak menikmati hujan yang mulai membasahi pelataran Jl. Embong Malang, Surabaya. Kendaraan yang melintasi jalan protokol itu mulai memperlambat kecepatannya, walaupun sebagian orang yang mengendarai roda dua memilih berhenti.
“kau....jatuh cinta?” tanya Seza to the point. Leon hampir tersedak mendengar ucapan Seza dan memilih mengendikan bahunya.
Cinta? Apa aku masih pantas jatuh cinta? Merasakan indahnya cinta. Membiarkan keindahan cinta membelenggu kesadarannya. Mengijinkan cinta mengendalikan sebagian dari tubuhnya?
“entahlah. Aku benar benar belum mengerti cinta.”

Untuk Luka Dimasa Lalu

on 21.57


Ini malam. Aku tahu. Tapi aku enggan beranjak dari tempat ini, walaupun angin malam sepertinya akan membuatku mati beku. Aku masih terkesiap akan pertanyaan yang ia ajukan tadi pagi. Sebaris pertanyaan sederhana yang membuat goresan luka cukup dalam.
“kemarin aku jadian sama dia.” Ujarnya. Aku hanya bisa menoleh dengan alis mengkerut.
“dia? Siapa?” tanyaku. Berusaha memastikan. Aku sebenarnya tahu siapa yang ia maksud. Hanya saja aku tidak mau membuat opini sepihat. Aku mengijinkan telingaku mendengar pernyataannya.
“Chendra.” Hening. Pernyataannya membuatku bingung entah apa yang harus kuucapkan sebagai jawaban. Aku masih terpaku atas kebenaran dari opini sepihakku. “ maaf” katanya lagi.
Aku berusaha menahan air mataku untuk tidak jatuh sia sia. Tapi percuma. Air mata itu jatuh bersama perasaan sakit, perih dan terhina yang dengan luar biasanya menguasai seluruh emosiku. Aku tidak menamparnya, ataupun mendatangi Chendra yang lima belas menit lalu kutemui dilapangan basket untuk mengungkapkan seluruh kekecewaanku.
Kecewa. Ya, aku kecewa. Dia –sahabatku, yang selama ini mengaku sebagai sahabatku– dengan gampangnya menyakiti aku yang baru saja merasakan indahnya cinta. Tapi apa aku harus menyalahkannya? Atau menyalahkan Chendra karena ia juga diam diam menyukai sahabatku sendiri?
Aku pulang dengan mata bengkak, merah dan keadaan yang menyedihkan. Mungkin mereka mengataiku bodoh karena menangisi dua orang yang sedang jatuh cinta yang mungkin saja sama sekali tidak sedang memperdulikanku. Tapi kau tau rasanya dikhianati oleh seorang yang selama ini kau patenkan sebagai sahabatmu?
Dua belas jam berlalu, perih itu masih sangat terasa. Membuat pipiku becek oleh tumpahan air mataku sendiri. Aku, perempuan kecil yang baru saja memasuki area kebahagiaan dari sebuah perasaan yang dibilang cinta, kini terperosok kedalam jurang yang gelap, hitam, dan menghasilkan luka batin yang luar biasa sakit. Aku tak bisa bergerak lebih. Aku hanya bisa terdiam, mengobati luka luka itu sendiri dan kembali memulai usahaku untuk mendaki keluar dari jurang itu. Belajar menerima keadaan dan bersikap dewasa.
“harusnya kamu bisa marah sama mereka. Kamu umpat aja mereka. Mereka pengkhianat, me.” Ujar seorang teman yang satu-satunya bisa menjadi tempat sampahku untuk saat ini. Aku tersenyum, merusaha menepis lukisan muram di wajahku, walaupun aku tahu itu akan percuma.
“aku marah kok, kecewa, bahkan mengumpat mereka dalam hati. Lagian untuk masalah perasaan, memangnya ada kata salah? Bukannya cinta bisa menikam siapa saja walau tanpa logika?” kataku sendu. Aku masih menyimpan luka itu saat aku berkata demikian. Aku semakin membenci mereka saat aku berusaha menerima kenyataan. Sungguh, itu percuma.
Percuma? Ya, itu percuma saat aku masih merasa kecewa dengan mereka.  Bagiku kini, itu hanyalah seuntai lagu kelam masalalu yang pernah terjadi dalam hidupku. Lagu yang dibuat pada tanggal 13 Desember.
(untuk yang pernah mengisi hatiku : S-A-A. :’) )

Bertemu Kembali

on 07.59


Senyuman itu datang saat kau kembali. mengusir semua rasa khawatir yang sempat berpangku. membunuh setiap senti sebuah perasaan yang sering kubilang rindu. menumpahkan semua air mata bahagia. apa kau tahu betapa bahagianya aku masih mampu melihatmu lagi? masih ada sisa emosi saat kau tanyakan kabarku, walaupun rasa senang itu lebih pekat dari segalanya.
Kau tahu betapa gilanya aku saat kau menghilang? Aku merasa semuanya kosong. Tak ada yang bisa kurasakan kecuali benih rindu itu semakin merambat menjalar meracuni akal sehatku.  Aku bahkan membutuhkan waktu untuk berdamai dengan kenyataan. Belajar membedakan bayangan imajiner yang menyerupai dirimu, dengan kenyataan jika kau menghilang dan tidak akan sudi mengingatku lagi. aku bahkan takut kau benar benar tak mau mengingatku lagi. aku takut kau akan membenciku. Aku takut kau akan membuat hidupku semakin kacau dengan cara membenciku.
Aku merindukan pelukanmu. Pelukan yang membuatku hangat ketika aku merasa suhu semakin menurun. Merindukan suara mu dari speaker kecil yang terletak disisi kanan ponsel. Merindukan textingmu diinbox dan mentionku. Merindukan genggaman tanganmu yang mampu menyemangatiku. Merindukan bau tubuhmu. Semuanya. Semuanya tentangmu, aku merindukan semuanya.
Kini kau dihadapanku, menawarkan pelukan hangat untukku. Suaramu saat menanyakan kabarku, membuat aku hidup dialam mimpi. Tidak, ini kenyataan. kedua kalinya, kau bertanya “bagaimana kabarmu?” kepadaku. Membuat saraf-sarafku bekerja dua kali lebih jeli memperhatikan bayanganmu dan mendengar suaramu. Aku hanya takut, sosok didepanku saat ini masih berselimut garis garis halus yang nantinya saat kucoba raih akan berubah menjadi bayangan transparan. Aku takut kau akan mengeluarkan gumpalan asap tebal secara tiba-tiba dan kau akan menghilang bersamanya.
Nyatanya tidak. Kau masih disini. Terdiam menunggu jawabanku dengan senyuman yang sangat kurindukan. Aku memberanikan diri menghambur kepelukanmu ditengah dinginnya angin malam.
“Saat kau menghilang, aku selalu memikhirkanmu, mengkhawatirkanmu, menanyakan keadaanmu, memutar kembali bayanganmu, kenangan tentangmu. Walau aku benar-benar tak menginginkannya.” Kataku disela-sela tangisku. Ia masih disana. Terdiam sambil membelai punggungku. Aku ingin terus seperti ini, menikmati pelukan yang sangat kurindukan. Untuk bekal jika saja sewaktu waktu kau akan menghilang lagi. tapi kau melepasnya perlahan dan mengajakku menatap langit malam berwarna merah.
“setelah ini hujan. kau harus pulang. Kita bertemu lagi besok. Aku akan menjemputmu.” Ujarnya. Aku mengangguk, walau berat. Lalu mengikutinya menuju motor merah yang tak lagi asing dimataku.
“happy anniv, sayang.” Ujarnya lagi saat motor itu mulai melaju. Aku mendengarnya, namun hanya tersenyum. Membiarkan kenangan itu muncul kembali. Tanpa dibingkai oleh perasaan rindu yang mengeras, tetapi kehangatan akan efek kebahagiaan yang mulai menyebar.

[ ]

on 18.12

kutemukan sebaris namamu disela hati yang memar.
memutar kembali semua yang sempat terekam dalam ingatanku.
dingin msih memelukku erat, berusaha membekukan mataku agar tak mencairkan setetes airpun dari sana.
aku kembali mengingatmu.
tidak, aku tidak pernah melupakanmu.
walaupun aku selalu tahu kau selalu berusaha untuk melupakanku. menghindariku.
seberkas rasa sakit itu muncul lagi.
semakin mengacaukan usaha sang dingin untuk mematirasakan setiap sarafku.
aku merindukanmu. hanya itu.
pernahkau kau merindukanku seperti ini?
pernahkah aku membuat perih padamu seperti ini?
aku merasakannya. dan itu menyiksaku.
aku bahkan tak berani mengatakan setiap perasaan rindu yang beralamat untukmu.
kau membenciku. kau berusaha melupakanku. menghindariku.
tapi, apakah dengan cara ini kau akan membuatku membencimu?
bodoh. kau salah. aku tidak pernah bisa membencimu.
kau terlalu berharga untuk kubenci.
apa dengan menghindariku kau fikir aku bisa melupakanmu? atau sebaliknya?
kupikir kau salah. sampai detik ini kau masih berlarian dipikiranku.
dan aku rasa, kau juga masih mengingatku.
ijinkan aku melihat senyummu yang dulu selalu menghiasi hariku.
ijinkan aku merasakan kembali kedekatan yang pernah ada antara kita.
apa aku salah, mengharapkanmu mau memaafkanku? mau mengenalku lagi?
apa salah jika aku mempunyai perasaan padamu?
apa aku berhak kau benci hanya karena aku menyayangimu lebih dari teman?
tidak adil.  kau tidak tahu betapa tersiksanya aku.
aku merasa bersalah telah menyukaimu. dasar jahat!
aku merasa terhina atas perasaanku.