Sunday, 16 03 2014

on 03.24


Sunday, 16 03 2014
Kala senja terbenam dibalik ujung-ujung cemara yang tinggi.

Ini terlihat seperti sebuah surat yang tidak pernah aku memberikannya padamu. Keberanianku belum cukup untuk memberikan kata kata manis padamu. Aku nanti bisa saja terlihat bodoh dimatamu, mengapa ”perempuan seperti aku” mampu menulis kalimat puitis seperti ini. Tapi percayalah, sesungguhnya aku menulis ini karena begitu banyak yang mampu kupelajari darimu. Setelah kata ”hi!” dan perkenalan singkat itu. Semuanya berubah. Tapi bodohnya, aku tidak pernah menyadarinya.

Dulu aku mempunyai boneka beruang, ukuranya bahkan lebih gemuk daripada aku, rambutnya gimbal dan kulitnya putih pucat. Ia mengenakan topi berwarna merah sehingga aku menyebutnya raksasa merah. Padahal dia sangat lucu. Sampai ketika umurku menginjak 14 tahun, kala itu aku masih ingusan dan duduk di bangku SMP. Mungkin tergolong dewasa, tapi aku masih saja sering berbicara sendiri dengan boneka itu. Aku menangis sambil memeluk boneka itu.

Mungkin banyak yang akan bilang aku childish, tapi aku tidak pernah peduli. Aku masih dekat dengan ‘raksasaku’ tersebut melebihi kedekatanku dengan kedua orangtuaku. Aku merasa, setidaknya aku tenang berada disamping boneka itu, sekalipun dia tidak pernah berbicara padaku.

Ditahun selanjutnya ketika usiaku masih 15 tahun, keluargaku pindah rumah. Maksudku, berpisah rumah. Mama harus kerja di Surabaya dan Ia kost di daerah perbatasan antara Surabaya dan Gresik. Aku di daerah Surabaya Barat tinggal bersama tanteku dan ayahku beserta adikku ada di desa. Hari-hari kulalui dengan keras, kesepian, dan tanpa semangat. Semuanya berubah sejak saat itu. Tidak ada tempat berbagi, tidak ada yang bisa kupeluk kala aku menangis.

Raksasaku? Dia harus dibuang. Ya, tidak ada yang mau menerima boneka gimbal itu. Boneka itu, kata Mama, tampak menyedihkan. Kulit pucat beserta ukurannya yang besar hanya akan memenuhi ruangan dan tidak berguna. Lagipula tante tidak akan mau menerimanya. Aku bisa apa? Aku hanya bisa diam. Terlalu lelah untuk menangis. Terlalu sesak untuk bernafas. Semuanya berlalu begitu saja dan aku tidak punya alasan kuat untuk menarik boneka itu kembali dari atas tong sampah.

Jika ingat peristiwa itu, aku sadar betapa lemahnya aku. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan hal hal yang aku sayang, orang orang yang aku sayang, dan tidak bisa sepenuhnya melawan takdir yang menyedihkan ini. Dan ingin sekali rasanya aku menulis kisahku sendiri, bahagia, berada disamping orang orang yang menyayangiku dan masih bisa memeluk ’raksasaku’ tersebut.

Dan mungkin semuanya kembali terjadi. Kala aku bertemu denganmu.

Kau bukanlah satu-satunya orang yang berharga dalam hidupku. Tapi orang-orang yang untukku berharga adalah orang-orang yang sangat mengenalku.  Mengenalmu saja tidak, tapi kau sudah ada dalam daftarnya. Juga serentetan nama nama asing yang tidak pernah kuketahui wajahnya.

Banyak hal yang aku bisa pelajari darimu. Setidaknya kau ajari aku lagi bagaimana cara tertawa dan mengenal hal hal yang menyenangkan. Tentang berbagi masalah dan mencari jalan keluarnya, dan tentang kedewasaan. Nyaman. Hanya kata itu yang bisa kubaca kala aku bersamamu. Beberapa perasaan bahagia pada saat itu masih belum kukenali.

Dan lagi, mendengar kenyataan buruk yang menimpamu kembali membuatku berpikir, mengapa hidup sangat membenciku untuk bahagia? Mengapa aku mungkin akan selalu ditakdirkan dengan yang namanya perpisahan. Tapi jika aku berpikir hidup itu tidak adil, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan disela kenyataan pahit yang muncul.

Sialannya lagi, ditengah keadaanmu yang kala itu tidak memungkinkan, dengan bodohnya aku menjadikanmu pelampiaskan semua masalahku saat itu. Dan hebatnya, entah kenapa, kau kembali membuatku tertawa. Seolah, kau memberikan sebelah tanganmu untuk membantuku melawan semuanya. Seolah aku tak sendirian.

Dan lambat laun, aku menginginkan kedua tanganmu kumilikki. Ini bukan ambisi, aku bahkan belum bisa mengartikannya.

Diantara lantunan doa dan harapan yang tumbuh, kau adalah alasan aku untuk terus berdiri lagi. Kau mengajariku tentang malu, malu jika aku kalah menghadapi hidup. Menurutku, takdirku jauh lebih buruk, namun aku selalu paham, kau tak pernah memperlihatkan kondisi burukmu. Kau selalu terlihat seolah olah kau adalah orang yang kuat. Seolah olah kau adalah orang yang tidak merasa terbebani.

Padahal, aku mengerti, semuanya hanya tipuan.

Sempat aku berpikiran, akan jadi apa aku jika nantinya kau pergi? Apa aku hanya akan melihatnya pasrah dengan perasaan campur aduk ketika aku melihat ’raksasaku’ pergi, atau aku akan menangis seperti saat aku kehilangan nenekku? Nantinya, aku bisa saja lupa cara tertawa. Kuakui, aku bergantung padamu, and always feel nothing when you’re not here. I swear I just feel nothing.

I don’t know what I am talking about and tell everything here but, i just wanna you know, i know you well. Where I know? Because I always took at  you when you came. You might never see but….yah, I’m not really wanna you know about it. I thought I’m a shameful thing.

Dari sekian panjang lebar, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih /?

Terimakasih sudah membuat aku kembali tertawa, terimakasih sudah membuat aku kembali merasa spesial. Untuk kamu, dan semua teman teman mayaku. Terimakasih karena kalian selalu mendengarkan aku yang bawel dan terimakasih juga, karena membuat aku kembali semangat hidup.

Tuhan tidak pernah membiarkan makhluknya menerima cobaan tanpa memperlihatkan hikmah dibalik semuanya. I was felt it in my life and i trust about it.

xoxo

-