Pulang

on 17.43


Keretaku tiba terlalu pagi.
Sebenarnya, aku sedikit berharap stasiun ini terlihat lebih bersahabat. Damai dalam kebutaan pagi, dingin gelap, yang berteman baik dengan secangkir cokelat panas seperti yang selalu mereka lakukan.
Turun dari kereta itu adalah saat pertama lagi kutemui tempat yang sama setelah terakhir kutatap punggungnya berlalu. Ruas-ruas undak-undakan ubin lantai itu, tempat kami duduk, dan terakhir kali berpeluk. Tempat wajah-wajahnya kurekam dalam kamera ponsel. Tempat kami mencandai seorang gadis remaja kulit putih dan mengira-ngira siapa namanya. Lalu berjanji temu sebelum lenyap dalam toilet jenis kelamin masing-masing. Aku menyukai itu. Aku menganggapnya sebagai, I don’t wanna be without you too long.
Ia menganggapnya sebagai, I haven’t got so much time. Maka, ”Please meet me at Dunkin Donuts,” tulisnya.
Aku meninggalkan stasiun ini terakhir kali dengan tangis. Ia menolak untuk mencium. Hanya memeluk erat selama beberapa saat, lalu berlalu pergi. Tidak menoleh lagi untuk kedua kali. Aku hanya mengiranya, karena itu hanya akan membuatnya teramat sedih.
Kami sudah tak mungkin bersama.
Rasanya mustahil, seperti matahari tenggelam yang muncul lagi setelah senja.
Meskipun, rasanya, hanya beberapa bulan saja sebelum hari itu, masih kulihat rindu bersinar-sinar di matanya. Masih kutatap pilar-pilar, rel yang memanjang, dan lampu-lampu putih di sepanjang peron sebagai kerlip cinta. Hanya beberapa bulan saja sebelumnya, air kolam yang tenang di depan stasiun itu masih mengendapkan rahasia tentang ciuman-ciuman rindu. Percakapan para penjual jajanan di kios-kios di depannya yang riuh dan lucu. Gerbang tempat berjanji temu.
Aku mencintai stasiun ini.
Maka aku kembali.
Aku harus menatapnya lagi. Menatapnya diam, menyimpan rahasia-rahasia itu, sekadar agar aku tahu—masihkah ia sanggup. Atau, haruskah ia melepaskan segala ceritanya, karena terlalu berat, atau haruskah ia berlalu karena memang teramat tidak penting.
Jadi, masihkah sanggup kau, wahai, lampu-lampu putih dan peron-peron yang damai, untuk menyimpan rahasia-rahasiaku? Kau tak perlu memaksakan diri, tahu…, aku tahu bahwa sebelum kami, sudah terlalu banyak kisah-kisah yang terjadi. Terlalu banyak pertemuan, dan perpisahan lagi, di sini…, yang telah begitu lama menggelayuti tiang-tiang pilarmu ini.
Kau tak perlu memaksakan diri.

***

Oh, matahariku terbit lagi di antara pelepah-pelepah dingin pepohon perdu di tepi kolam itu.
Dan aku tahu aku akan harus terus menemuimu.
Berani menatapmu lagi, setelah hari ini. Diam dalam kediamanmu yang magis, dan heningmu yang pekat, tempat dimana kenanganku melekat. Hariku akan berjalan, hai loket-loket mungil dan lonceng-lonceng kecil. Kau juga. Lihat, lampu-lampu putihmu telah mulai mati. Aku tahu engkau harus bersiap untuk satu kisah lagi.
Maka akan kurelakan kenanganku di sini. Biar saja melekat. Karena aku tahu, saat kubiarkan bayangku hilang dari lampu putihmu…, engkau masih akan tetap kuat.

*** 

a