For someone

on 06.39

Monday, 29 February 2016
21:37

Cause nobody like you, who make me feel much important when he dump me.
Cause nobody like you, who make me happy when nobody understand me.
Cause nobody like you,  who make me know how special am i.

Cause we need each other, please don't leave again. Don't go, be here, in my beside.

dan yang lainnya

on 03.46

Ini bukan tentang puisi Iswadi Pratama dalam buku yang kubawa di sore basah pada hari Kamis yang murah hati itu, meski kamu mungkin akan mendengarku membicarakan buku itu berkali-kali. Aku sungguh ingin kamu membaca buku itu, Kak, aku ingin orang-orang yang kukasihi membaca buku itu. Ada buku-buku yang kurasa akan selalu kusimpan hingga akhir hidup, dan buku itu salah satunya. Karena aku ingin bisa membaginya dengan orang-orang yang kucinta. Karena, seperti waktu yang sempit untuk berbicara denganmu dengan begitu jujur, yang akhirnya kubuat terjadi tempo hari, kesempatan-kesempatan baik tak selalu datang lebih dari satu kali. Seperti buku-buku itu. Yang tidak selalu terpajang di rak terlaris, hampir seperti puisi yang ditulis Iswadi: “…. hanya remah air matamu // sesuatu yang telah kau buang // dan kukekalkan dalam ingatan // yang kelak, mungkin kau rindukan // dan saat itu kau akan mengerti // yang paling berharga tak bisa dimiliki.”
Tak bisa dimiliki.
Ini bukan tentang puisi itu; bukan tentang memilikimu. Ini barangkali hanya ketidakmampuanku merasakan kata-kataku sendiri tiap kita bertatapan, dan aku paling tak suka bila tak bisa merasakan kata-kataku sendiri. Segalanya jadi semacam hilang makna dan aku merasa seperti entitas kosong, kenapa tidak menghilang saja sekalian. Itulah sebabnya kamu lebih sering mendapatiku begitu diam. Maka, ketika kesempatan yang sempit itu tiba, aku ingin ia terjadi.
Sebab kamu berbeda, ucapku.
Seperti ada yang meletup di dalam ketika merasakan kalimat itu keluar, kau tahu. Tak bisa tidak merasakan kegilaannya. Aku merasa perlu menunggu paling tidak setengah menit sebelum bicara lagi, menjelaskan yang sebelumnya terlanjur kulepaskan. Setiap setengah menit itu berlalu, dorongan kata-kata yang hendak tumpah membuat kepalaku sakit. Menyadari; bongkahan-bongkahan rasa kejujuran yang selama ini terus kusimpan sendiri. Yang begitu takut untuk kuperlihatkan karena rasanya bahaya yang mengancam di sekitarnya begitu banyak. Rasanya seperti masuk ke dalam bagian belakang kepalaku yang gelap itu, tempat yang selama ini selalu tersembunyi. Namun, dimana segala hal terasa begitu benar. Begitu asli; inilah keadaanku sebenarnya. Inilah kekacauan yang terjadi sejak bertemu lagi denganmu waktu itu, setelah sekian lama; aku sudah begitu jatuh cinta.
Tentu saja, tidak kuungkapkan semua. Ini aku. Tak akan berani.
Lalu kusadari–ketika berlari pulang ke rumah dengan ponsel yang memanas dalam genggaman–yang kubiarkan terdengar nyata rupanya begitu sedikit. Tak ada cerita tentang gelas kosong yang kini terisi penuh, seperti lagu itu. Aku tak sempat bicara mengapa aku senang mengetes nada di E minor (aku ingin sekali menjelaskannya kepadamu agar kau dengar sendiri). Barangkali, bagimu–dengan kesederhanaan diri yang kau punya–semuanya bahkan tak terlalu bermakna apa-apa.
Padahal aku masih tak berani merasakan kembali kata-kataku sendiri, atau bahkan memandang baris-baris percakapan kita di ponsel. Rasanya seperti sudah keluar telanjang di depan umum.
*
Tapi baru setelah mengungkapkannya, aku benar-benar mengerti.
Memangnya mengapa bila cuma itu yang mampu kubiarkan keluar? Itu yang aku bisa, tapi semuanya jujur. Tak ada yang tidak kulepaskan tanpa aku menanggalkan semua pertahanan diri, dan itu terasa seperti menanggalkan pakaian satu per satu di depan orang asing. Aku tak terlatih melakukannya, maka semuanya canggung dan bodoh. Dan barangkali tak akan ada akibat apa-apa yang kutimbulkan dengan pengakuan demi pengakuan dalam baris-baris itu; aku tetap ingin mengakuinya. Itu tidak pula akan membuatku bisa memilikimu (saat ini juga); tak mengapa. Aku ingin tetap mengakuinya.
Memang ini caraku.
Setidaknya, kamu pasti rasakan juga kejujurannya. Aku yakin itu. Pada suatu tempat dalam hatimu pasti itu membekas. Dan bila itu akan membuatmu berbangga, karena merasa teramat istimewa; rasakan saja. Memang seistimewa itu dirimu.
Aku senang mengetes nada di E minor karena begitulah sapaanmu terdengar.
Minum kopilah denganku, Kak. Aku akan bercerita tentang buku-buku itu, dan penulis-penulis yang kukagumi yang datang dari tanah kelahiranmu. Aku bisa bicara lebih banyak dari dari kebisuan selama ini. Barangkali nanti terlihat juga olehmu, aku tidak segelap itu.
Aku ingin berhenti merasa segelap itu.
*
Aku sudah cinta.
Teramat sangat cinta, pokoknya.