Tak terbendung

on 19.46

Dalam bahasa hiperbolisme, rinduku menyeruak.  Terlalu penuh, terlalu banyak hingga membuatku sesak. Hingga membuatku tak bisa banyak memilih kata. Hingga semuanya terasa menggebu gebu inginkan temu.

Bahagiamu kala kau tertawa denganku, sayang. Kutahu itu. Hati tak akan bertahan dalam kesepian. Tanpa sengaja ku tawarkan rasa hangat itu. Ku rangkulkan ke lehermu. Dan kau mulai terlena. Dan aku makin menyukainya. Pada akhirnya aku yang harus pergi. Tak pernah ada niat untuk menjadi penengah. Untuk menjadi pilihan kedua. Untuk membuat hatimu bercabang. Untuk meminta genggaman tanganmu dibagi kepadaku.

Namun kala aku pergi, kala aku berharap untuk tak kembali, kudengar kau layu, sayang. Tak lagi bergairah. Begitu dingin, begitu asing, begitu angkuh. Apa kau mulai dilenakan olehku sayang? Apa sang kekasih tak pernah mengisi sepi sepi harimu lagi sehingga hampir semuanya terkikiskan olehku?

Aku seperti pendosa menginginkanmu. Seperti pendosa, yang menginginkan pelukanmu setiap hari. Aku tak berhak untuk saat ini sayang. Walau kita tahu, kedua dari kita inginkan bersama. Bahkan untuk mengakui cinta kepadamu, aku terlalu takut akan karma.

Jadi kutuliskan dengan tulus, bahwa aku mencintaimu. Dan jika ku kembali, kurangkulkan hangat yang pernah kubawa pergi. Dan kupinta genggaman yang coba kulupakan, nanti, lagi.

Aku berharap semesta akan merestui kita untuk bahagia.

Apa salah?

on 05.33

Awalnya aku masih memilihmu meskipun hatimu bercabang dua, atau mungkin, tiga. Aku entah berada di nomor urut berapa.

Akhirnya, awal yang kupilih tak merunut jalan hati. Logika mencoba untuk mempertahankmu, tapi ada daya hati punya kuasa sendiri.

Aku memaafkanmu, semampunya ingin mempertahankmu. Tapi, ternyata, senyuman, genggaman, dan kecupan manja itu tak hanya aku yang memilikinya. Ada dia, Orang yang juga memilikimu. Entah untuk siapa hatimu, sebenarnya.

Jika memang cinta tak bisa disalahkan, apa ini benar? Jika hati memilih dengan tepat, apa ini akurat?  Jangan lagi percaya kata yang membenarkan cinta, karena aku berkali dibutakan dan tak pernah singgah di tempat yang benar.

Teruntuk, Senja.

Putus asa

on 08.06

Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang terbiasa dengan kehilangan. Dan tidak ada satupun sosok di dunia ini yang mampu melupakan seseorang yang ia cintai begitu saja tanpa menghadapi pertengkaran dengan dirinya sendiri. Aku merasakannya. Ketika aku masih mencintaimu, ketika aku masih inginkan melangkah lebih dekat ke arahmu, ketika aku masih inginkan mendengar desau suaramu dari dekat. Namun aku tahu, itu mustahil. Aku tidak akan bisa mendapatkanmu. Kau terlalu sempurna bagiku.
Aku akan membencimu. Maafkan aku, tapi aku akan berbuat seperti itu. Itu adalah skenario paling mudah. Aku akan menjauhimu, mengalihkan pandanganku darimu, dan mencoba sekuat mungkin untuk tidak melihat ke arahmu. Aku akan bermain dengan lukaku sendiri dan membohongi diriku sendiri. Kau tidak perlu berbuat banyak, kau hanya harus berjalan seperti biasa, sambil mengalihkan pandanganmu, tidak menoleh ke arahku atau apapun. Seperti yang kau lakukan padaku biasanya, mengacuhkanku.
Aku mencintaimu, dan biarkan itu menjadi urusanku. Entah aku ingin berjuang, atau melupakanmu begitu saja. entah aku ingin berjalan beriringan denganmu atau aku inginkan lari menjauhimu. Biarkan, biarkan itu menjadi urusanku. Kau pun akan mengacuhkanku, kau tahu jika aku  tidak sepadan dengan sosok sempurnamu.
Biarkan ini menjadi urusanku, atau kau mau acuhkan aku, atau menyakitiku, atau mau kau apakan perasaanku yang terbuang begitu saja, biarkan itu menjadi urusanmu.

Jangan Sakiti

on 08.02

Jangan sakiti, Biru.

Aku selalu menyukai caramu melakukan apapun.
Begitulah, sehari – harinya aku hanya akan tersenyum jika aku sudah berhasil melihatmu, Biru. Ketika kau melakukan adegan favoritku, yaitu membelakangiku dan memasak dengan serius. Empat – atau lima meter jauhnya dibelakangmu, aku masih curi – curi pandang ke arahmu. Walaupun ada sepuluh orang pelanggan yang masuk ke restoran untuk memesan menu – menu. Aku akan selalu membutuhkan konsentrasi, mengingat detil per detil tiap pesanan, dan menyampaikannya kepada dapur. Namun, aku selalu bisa mencuri kesempatan melihat ke arahmu.
Kau tahu, Biru, garis kita sudah berdempetan, dan garisku bersikeras menabrak garismu. Itu sebuah kesalahan, aku tahu, Biru. Bahkan ketika kelak kau akan mengatakan kau tidak ingin lagi melihatku karena aku mungkin, suatu saat nanti, membuatmu jengah. Maafkan aku, Biru. Tapi, mengertikah kau, Biru, bahwa hati berjalan dengan meyakini apa yang Ia yakini benar? Hati tak butuh perintah, Biru. Hati tidak bisa diperintah. Menyukaimu, bukan kemauanku. Banyak sekali diluaran sana, Biru, yang tampan, dan tinggi sepertimu, namun aku masih memilihmu.
Aku selalu ingin hidup tidak seperti ini, Biru. Hidup bebas, tanpa merasakan sakit hati karena ditolak. Jangan egois, aku tak pernah mengganggu hidupmu. Aku hanya menyukaimu. Aku hanya jatuh cinta kepadamu, dan itu adalah urusanku. Aku tidak menguntitmu kemanapun, aku diam, dan mengagumimu dalam senyap. Akan terus kuperhatikan cara ruas – ruas jarimu menggenggam angin, jika bahkan kelak jari – jari iru menggenggam ruas jari lain. Akan terus kukagumi langkah lebarmu, meskipun nantinya langkah lebar itu akan mengiringi langkah mungil seseorang.
Sudah ku ucapkan, kan, jika sesungguhnya, Biru, hati tidak perlu perintah. Ia akan terus berjalan, dan berhenti ketika tersandung dan jatuh. Aku akan berhenti ketika ini sudah cukup sakit. Tapi, kumohon, jangan terlalu menyakiti hatiku, Biru. Ia terlalu rentan, karena selalu jatuh ke sosok yang tak pernah sanggup kumiliki…