Ini bukan tentang puisi
Iswadi Pratama dalam buku yang kubawa di sore basah pada hari Kamis yang
murah hati itu, meski kamu mungkin akan mendengarku membicarakan buku
itu berkali-kali. Aku sungguh ingin kamu membaca buku itu, Kak, aku
ingin orang-orang yang kukasihi membaca buku itu. Ada buku-buku yang
kurasa akan selalu kusimpan hingga akhir hidup, dan buku itu salah
satunya. Karena aku ingin bisa membaginya dengan orang-orang yang
kucinta. Karena, seperti waktu yang sempit untuk berbicara denganmu
dengan begitu jujur, yang akhirnya kubuat terjadi tempo hari,
kesempatan-kesempatan baik tak selalu datang lebih dari satu kali.
Seperti buku-buku itu. Yang tidak selalu terpajang di rak terlaris,
hampir seperti puisi yang ditulis Iswadi: “…. hanya remah air matamu
// sesuatu yang telah kau buang // dan kukekalkan dalam ingatan // yang
kelak, mungkin kau rindukan // dan saat itu kau akan mengerti // yang
paling berharga tak bisa dimiliki.”
Tak bisa dimiliki.
Ini bukan tentang puisi itu; bukan tentang memilikimu. Ini barangkali
hanya ketidakmampuanku merasakan kata-kataku sendiri tiap kita
bertatapan, dan aku paling tak suka bila tak bisa merasakan kata-kataku
sendiri. Segalanya jadi semacam hilang makna dan aku merasa seperti
entitas kosong, kenapa tidak menghilang saja sekalian. Itulah sebabnya
kamu lebih sering mendapatiku begitu diam. Maka, ketika kesempatan yang
sempit itu tiba, aku ingin ia terjadi.
Sebab kamu berbeda, ucapku.
Seperti ada yang meletup di dalam ketika merasakan kalimat itu
keluar, kau tahu. Tak bisa tidak merasakan kegilaannya. Aku merasa perlu
menunggu paling tidak setengah menit sebelum bicara lagi, menjelaskan
yang sebelumnya terlanjur kulepaskan. Setiap setengah menit itu berlalu,
dorongan kata-kata yang hendak tumpah membuat kepalaku sakit.
Menyadari; bongkahan-bongkahan rasa kejujuran yang selama ini terus
kusimpan sendiri. Yang begitu takut untuk kuperlihatkan karena rasanya
bahaya yang mengancam di sekitarnya begitu banyak. Rasanya seperti masuk
ke dalam bagian belakang kepalaku yang gelap itu, tempat yang selama
ini selalu tersembunyi. Namun, dimana segala hal terasa begitu benar.
Begitu asli; inilah keadaanku sebenarnya. Inilah kekacauan yang terjadi
sejak bertemu lagi denganmu waktu itu, setelah sekian lama; aku sudah
begitu jatuh cinta.
Tentu saja, tidak kuungkapkan semua. Ini aku. Tak akan berani.
Lalu kusadari–ketika berlari pulang ke rumah dengan ponsel yang
memanas dalam genggaman–yang kubiarkan terdengar nyata rupanya begitu
sedikit. Tak ada cerita tentang gelas kosong yang kini terisi penuh,
seperti lagu itu. Aku tak sempat bicara mengapa aku senang mengetes nada
di E minor (aku ingin sekali menjelaskannya kepadamu agar kau dengar
sendiri). Barangkali, bagimu–dengan kesederhanaan diri yang kau
punya–semuanya bahkan tak terlalu bermakna apa-apa.
Padahal aku masih tak berani merasakan kembali kata-kataku sendiri,
atau bahkan memandang baris-baris percakapan kita di ponsel. Rasanya
seperti sudah keluar telanjang di depan umum.
*
Tapi baru setelah mengungkapkannya, aku benar-benar mengerti.
Memangnya mengapa bila cuma itu yang mampu kubiarkan keluar? Itu yang
aku bisa, tapi semuanya jujur. Tak ada yang tidak kulepaskan tanpa aku
menanggalkan semua pertahanan diri, dan itu terasa seperti menanggalkan
pakaian satu per satu di depan orang asing. Aku tak terlatih
melakukannya, maka semuanya canggung dan bodoh. Dan barangkali tak akan
ada akibat apa-apa yang kutimbulkan dengan pengakuan demi pengakuan
dalam baris-baris itu; aku tetap ingin mengakuinya. Itu tidak pula akan
membuatku bisa memilikimu (saat ini juga); tak mengapa. Aku ingin tetap
mengakuinya.
Memang ini caraku.
Setidaknya, kamu pasti rasakan juga kejujurannya. Aku yakin itu. Pada
suatu tempat dalam hatimu pasti itu membekas. Dan bila itu akan
membuatmu berbangga, karena merasa teramat istimewa; rasakan saja.
Memang seistimewa itu dirimu.
Aku senang mengetes nada di E minor karena begitulah sapaanmu terdengar.
Minum kopilah denganku, Kak. Aku akan bercerita tentang buku-buku
itu, dan penulis-penulis yang kukagumi yang datang dari tanah
kelahiranmu. Aku bisa bicara lebih banyak dari dari kebisuan selama ini.
Barangkali nanti terlihat juga olehmu, aku tidak segelap itu.
Aku ingin berhenti merasa segelap itu.
*
Aku sudah cinta.
Teramat sangat cinta, pokoknya.