Keretaku tiba terlalu pagi.
Sebenarnya,
aku sedikit berharap stasiun ini terlihat lebih bersahabat. Damai dalam
kebutaan pagi, dingin gelap, yang berteman baik dengan secangkir cokelat panas
seperti yang selalu mereka lakukan.
Turun
dari kereta itu adalah saat pertama lagi kutemui tempat yang sama setelah
terakhir kutatap punggungnya berlalu. Ruas-ruas undak-undakan ubin lantai itu,
tempat kami duduk, dan terakhir kali berpeluk. Tempat wajah-wajahnya kurekam
dalam kamera ponsel. Tempat kami mencandai seorang gadis remaja kulit putih dan
mengira-ngira siapa namanya. Lalu berjanji temu sebelum lenyap dalam toilet
jenis kelamin masing-masing. Aku menyukai itu. Aku menganggapnya sebagai, I
don’t wanna be without you too long.
Ia
menganggapnya sebagai, I haven’t got so much time. Maka, ”Please
meet me at Dunkin Donuts,” tulisnya.
Aku
meninggalkan stasiun ini terakhir kali dengan tangis. Ia menolak untuk mencium.
Hanya memeluk erat selama beberapa saat, lalu berlalu pergi. Tidak menoleh lagi
untuk kedua kali. Aku hanya mengiranya, karena itu hanya akan membuatnya
teramat sedih.
Kami
sudah tak mungkin bersama.
Rasanya
mustahil, seperti matahari tenggelam yang muncul lagi setelah senja.
Meskipun,
rasanya, hanya beberapa bulan saja sebelum hari itu, masih kulihat rindu
bersinar-sinar di matanya. Masih kutatap pilar-pilar, rel yang memanjang, dan
lampu-lampu putih di sepanjang peron sebagai kerlip cinta. Hanya beberapa bulan
saja sebelumnya, air kolam yang tenang di depan stasiun itu masih
mengendapkan rahasia tentang ciuman-ciuman rindu. Percakapan para penjual
jajanan di kios-kios di depannya yang riuh dan lucu. Gerbang tempat berjanji
temu.
Aku
mencintai stasiun ini.
Maka
aku kembali.
Aku
harus menatapnya lagi. Menatapnya diam, menyimpan rahasia-rahasia itu, sekadar
agar aku tahu—masihkah ia sanggup. Atau, haruskah ia melepaskan segala
ceritanya, karena terlalu berat, atau haruskah ia berlalu karena memang teramat
tidak penting.
Jadi,
masihkah sanggup kau, wahai, lampu-lampu putih dan peron-peron yang damai,
untuk menyimpan rahasia-rahasiaku? Kau tak perlu memaksakan diri, tahu…, aku
tahu bahwa sebelum kami, sudah terlalu banyak kisah-kisah yang terjadi. Terlalu
banyak pertemuan, dan perpisahan lagi, di sini…, yang telah begitu lama
menggelayuti tiang-tiang pilarmu ini.
Kau
tak perlu memaksakan diri.
***
Oh,
matahariku terbit lagi di antara pelepah-pelepah dingin pepohon perdu di tepi
kolam itu.
Dan
aku tahu aku akan harus terus menemuimu.
Berani
menatapmu lagi, setelah hari ini. Diam dalam kediamanmu yang magis, dan
heningmu yang pekat, tempat dimana kenanganku melekat. Hariku akan berjalan,
hai loket-loket mungil dan lonceng-lonceng kecil. Kau juga. Lihat, lampu-lampu
putihmu telah mulai mati. Aku tahu engkau harus bersiap untuk satu kisah lagi.
Maka
akan kurelakan kenanganku di sini. Biar saja melekat. Karena aku tahu, saat
kubiarkan bayangku hilang dari lampu putihmu…, engkau masih akan tetap kuat.
***
a
0 komentar:
Posting Komentar