Terasanya, telah panjang jejak
waktu sejak hari itu.
Terasanya, telah panjang jejak
waktu sejak hari itu.
Jelas sudah ratusan kali aku
mendengarkan Valse in A flat Major no 16 opus Posth dan ratusan Études karya Liszt atau Chopin. Dan pagi ini sudah kesekian
kali aku terbangun sendiri. Namun kali
ini rasanya berbeda. Kepada diam di tepian jendela, di sunyi kisi-kisinya dan dan
matahari yang sendu, yang begitu sendiri.
Dering ponsel telah membangunkanku kali ini. Namun itu bukan darimu.
Karena kini kau sudah tebang bagaikan burung gereja yang meninggalkan
tempat bernaungnya yang sepi dan angkuh. Katedral yang kuno dan dingin, seperti
itulah aku –mungkin. Tak cukup hangat, buatmu.
Diseberang, nyonya Kwon sudah menguliahiku tentang pekerjaan yang harus
kulakukan hari ini. “Dan juga, Minah-ssi, ah-ya saya lupa, Seungjae sepertinya
sedang sakit hari ini. Di persidangan yang akan Ia hadapi sekarang daripada
harus tertunda, jadi kuharap kau mau menggantikannya. Kau kan kekasihnya?”
Apa katanya?
Kekasih?
“Jadi kupikir ada baiknya kau segera bangun hari ini. Maafkan aku, aku
sangat tidak sopan..”
….
“Baiklah..” ujarku lemah.
Tuhan sesungguhnya bersama orang-orang yang Move-On.
Karena hanya Ia-lah (dan jutaan orang patah hati di bumi ini) yang
mengerti beratnya menjalani hari-hari
pasca putus. Dan disinilah aku sekarang. Dibalik kemudi Pontiac Solstice-ku,
terjebak di lampu merah; memandangi orang yang berlalu lalang diatas zebra cross. Di hari-hari sebelumnya
akan selalu ada kau. Akan ada Seungjae.
Tapi tidak segila itu, aku tidak akan membiarkan dia selalu menguntitku. Maksudnya,
aku akan selalu mencium cologne atau fenomonnya yang seksi setiap harinyac. Di mantel-nya
atau saat Ia memelukku. Aku membuka box
kecil dibawah radio, dan menemukan permen mint-mu ada disana. Ada dua butir.
Hari ini adalah hari penuh perjuangan. Bahkan saat aku mengetahui
Seungjae tidak akan pergi ke kantor hari ini. Apalagi, jika nantinya Ia akan
pergi ke kantor? Membayangkannya saja sudah membuat kepalaku pening.
Lampu berganti hijau. Aku menarik pedal gasku. Melajukan Solstice-ku ke
tengah jalanan kota Seoul. Sudahlah, kau
jangan lembek!
***
Kantor pengacara
“Mila Kwon & Co” merupakan kantor bagi pengacara – pengacara terbaik
seantero Korea. Bukan hal asing jika saja aku menemukan Joel Segal atau Ana
Quincoces disini. Karena pengacara terkenal seperti Cherie Blaire saja pernah
dibantu oleh Seungjae dalam menangani kasusnya.
…
Kenapa harus dia lagi?
Aku
mengutuk diriku jika saja aku terus mengingat semua hal yang berbau tentang
dia.
“Annyeong
Haseyo, Minah-yaa!ini berkas dari kasus yang harus kau hadapi. Kasus pidana,
masalah pelelangan yang dilakukan bank.” Taeyeon Kim selaku sekertaris menghampiriku,
lalu dilanjutkan menyodori aku sebuah map tebal.
“Uh-thanks!”
“Yap.
Aku harap, Ibu Mila sudah member tahumu kasus Yo-..”
“Aku
sudah dengar.” CUKUP. JANGAN NAMANYA
LAGI.
“Baiklah…”
Lalu sekertaris Kim meninggalkanku. Duduk manis di mejanya. Hening mengisi
bilikku, dan sekitarnya. Aku mulai membuka map itu dan akan mempelajari isinya
jika saja..
“Hai
Sayang?...Astaga? apa kau sakit?”
Sial!
“Iya, aku
merindukanmu juga.. nanti kujemput ya, kita makan di…”
Aku melongok kea
rah depan bilik, melihat sosok Choi Young-Jae dengan manisnya senyum senyum
sambul berbicara dengan sosok ‘sayang’ disebelah sana.
Biasanya aka
nada aku dan Seungjae yang lebih manis daripada itu, kan?
Aku memijit
pelipisku pelan. Sabar..sabar..
***
“Jadi nanti jam
berapa kau akan ke flat milik
Seungjae? Membelikannya bubuk cokelat dan menyeduhnya disana. Dia pasti akan
segera sembuh!” Kim Jongdae kini sudah ada didepan meja bilikku, memberikan
secangkir moka hangat yang akan selalu menjadi kesukaanku.
Dan Seungjae. Nggak kok! Seungjae lebih suka cokelat hangat.
Tetap tenang,
ini pasti akan terjadi. Untuk bias moving on, hal pertama yang orang harus
lakukan setelah putus cinta dan menghadapi berbagai musibah adalah…..move on. Itu
dimulai dengan lapang dada. Apa adanya, jangan menyangkal –– demikian para kata
motivator yang kebanyakan adalah seorang jomblo.
“Jong-chan, we’re…”
aku menarik nafas berat, “we’re done.”
Selanjutnya,
buru-buru Sehun meletakkan cangkir berisi latte-nya ke mejaku.
Sunyi.
Tapi hanya
sejenak. “Done? With Seungjae?”
“No, with Johnny
Deep. Memangnya siapa lagi yang kemarin jadi pacarku?”
“Tapi, Minah,
this is Seungjae we’re talking about? Yook Seungjae, you na mean?”
“Terus kita
memangnya lagi ngomongin siapa? Lionel Messi?”
Jongdae meneguk
Latte-nya. Hanya sebentar. “I meant, Seungjae, Min. He’s like…he’s like crazy
about you!”
“Jongdae-Hyung,
bapak Daniel Cho mengatakan, kau harus segera cek email kantor.” Begitu kata
Choui Young-jae. Aku melongok ke arahnya sebentar lalu kembali mengamati
paparan kasis pidana dihadapanku.
Namun,
bermoduskan cangkir Latte-nya, aku mendengar Jongdae berbisik pelan, “Memang
penyebabnya apa sih, Min?”
Aku sedang ingin melanjutkan hidup, Ya
Tuhan..
“Siapa yang
memutuskan hubungan duluan?”
Aku ingin
membuka mulut, namun teleponku berbunyi. Suara nyonya Kwon terdengar diujung
sana.
***
Telepon dari
nona Kwon tadi membuatku tergesa-gesa umtuk menemuinya di ruangannya. Sekalipun
aku hari ini hanya menggunakan canvas pink shoes keluaran Channel dan dress
paling ringan yang pernah dikeluarkan oleh The Executive. Namun rasanya badanku ingin tumbang dan tidak
seimbang. Seperti perpaduan menggunakan Pigalle Spikes-nya Loubs dan mermaid
skirt dress keluaran D&G.
Entah bagaimana
awalnya, tiba tiba aku sudah tergelincir dan jatuh menuruni tangga. Sampai ke
lantai bawah, dan menabrak manager Daniel Cho, beserta cangkir kopinya. Dan berakhir
dengan siraman kopi hitam pekat ke kulit bahuku. Rasanya ingin melepuh saking
panasnya. Dan harus kuakui itu, semarah apapun, Daniel Cho adalah bos ku, dan
tidak seenak itu aku bisa memarahinya.
Setelah meminta
maaf kepada Manager Daniel Cho yang masih terpaku antara sadar dan tidak, lalu
berlari menaiki tangga. Sesampainya di ruangan Nyonya Kwon, aku menghentikan
langkahku. Dengan kesal aku melompat kea rah ruangan setelah mendorong pintu
kuat kuat.
…dan, kali ini,
mendapati Nyonya Kwon meringis-ringis, terkapar di lantai.
Somebody please kill me now.
Jadi ceritanya,
Nyonya Kwon tertarik dengan suara rebut rebut yang terjadi di lantai bawah dan
suara jeritan suara perempuan. Namun ketika ia akan membuka pintu, aku juga
sudah ada di balik pintu sisi berbeda dan mendorong pintu kuat kuat. Membuat perempuan
itu limbung.
Ini kesalahanku
sih, aku tidak mengetuk pintunya.
Aku diijinkan
pergi ke pengadilan saat itu juga, karena memang aku harus menguasai klien yang
akan aku bela nantinya.dan begitulah. Aku masih merenungi kesialanku dari pagi
saat aku berkendara ke kantor pengadilan. Solsticeku yang malang menabrak
sebuah mobil box dan mengharuskan aku meneruskan perjalananku menggunakan
kereta karena mobilku diderek.
Sialnya lagi,
salju turun dan aku tidak membawa mantel.
Hari ini kenapa?
Setidaknya aku
sedikit puas karena siding yang kuhadapi hari ini masih bias aku handle. Bukan kasus
yang susah, malah tergolong kasus yang cukup biasa aku tangani. Aku keluar
kantor pengadilan ketika aku selesai menyalami semua klienku. Dan berusaha
menahan dingin ditengah salju turun dengan angin muson yang sangat dingin. Namun
diluar sudah ada seseorang yang menungguku. Kim Jongdae. Dengan menggunakan
kaus putih dan celana hitam, dipadu dengan jaket kulit non-formal. Beda sekali
dengan penampilannya di kantor tadi.
Aku menghampirinya.
Dan masuk ke mobilnya.
“Yo, Kid! Tadi aku
dapat telfon dari polisi jika mobilmu diderek. Aku belum bias mengambil
mobilmu, tapi besok mungkin kau bias mengambilnya.”
Good news!
“aku bias mengantarmu
sampai rumah Seungjae. Aku terlalu malas untuk putar balik kearah rumahmu..”
What?
“Sekalian ini,
mantel Seungjae ada di mobilku. Aku rasa sih ketinggalan.. nanti sekalian
kembalikan ya?”
……
Semesta, hari ini kenapa?
***
Hari ini
berakhir setelah beberapa kesialanku. Mulai dari kasus dadakan, hingga aku
harus beku kedinginan menyusuri jalan setapak menuju Flat milik Seungjae.
Flatnya berwarna
merah bata, dengan tangga berisikan lima anak tangga di depan pintu. Dan satu
lonceng di atas pintu. Aku membunyikannya.
Sedetik kemudian,
Seungjae sudah ada di hadapanku.
“Jong-chan titip
ini…” aku menyerahkan mantelnya, tadi aku disuruh Nyonya Kwon buat ngegantiin
kamu di siding pelelangan bank itu, aku nggak ngerti masalahnya apa. Aku nggak bias
paham apa yang sudah kamu putuskan di siding sebelumnya. Berantakan banget. Aku
juga gak bias konsen soalnya Jong-Chan selalu nanyain aku tentang kita..”
“Tentang…kita?”
“Iya, tentang
kita. Aku cerita ke dia. Bodoh ya? Aku bilang, kita putus, dia lalu Tanya,
putus kenapa, tapi aku nggak jawab. Terus Tanya lagi, siapa yang putusin, terus
aku bilang, aku sih.. saking gugupnya aku juga tadi jatuh dari tangga, kakiku
sakit rasanya, terus aku bikin pak Daniel Cho tumbang juga, alhasil kopi
panasnya tumpah di bahuku. Panas, rasanya mau melepuh..”
“Terus sekarang
gimana?”
“Aku nggak papa
sih, Sekarang udah mendingan. Aku juga tadi nabrak Nyonya Kwon sampai dia
meringis. Tapi kayanya bukan l;uka berat, dikompres juga baik baik aja, pakai
air es. Terus pas aku ke kantor pengadilan, aku menabrak mobil box. Padahal itu
mobil mahal. Akhirnya aku jalan ke kantor pengadilan sambil nahan dingin. Aku nggak
bawa mantel…”
“Kenapa nggak
bawa mantel?”
“Aku nggak
tau, tapi, aku—aku—“
Kalimatku
terhenti, capek juga mengoceh. Aku pun mengangkat wajah. Seungjae tak lagi
menginterupsi, tak lagi berkata-kata. Ia hanya sepasang mata yang menatap; diam,
dalam. Hening. Di detik itu, aku pun tahu, aku telah jatuh…. Bodo amatlah.
“Aku… kangen
sama kamu.”
Itu kata
kata paling gila. Aku mengangkat wajah. Menunggu. Siap-siap diusir. Menyiapkan
kata-kata pembelaan diri….
“Kamu mau
masuk dulu?”
Hanya itu
yang diucapkan Seungjae. Aku tercengang.
Hendak melepas sepatu, masuk, mengikuti si pemilik kamar, namun seketika itu aku
tahu, ada yang lebih penting yang perlu aku lakukan saat ini.
Yaitu,
menghambur ke dalam pelukannya. Pelukan Seubgjae berarti bau denomon nya yang
seksi.
Aku sungguh
merindukannya.
Ketika Seungjae
membalas lingkaran lenganku, aku pun tahu, aku memang tak bisa lepas.
Memang
disini tempat hatiku.***
0 komentar:
Posting Komentar