hello guys!
ah, it such a long time i'm not post any style and outfit in this blog. because i post it on my own tumblr anyway wkwk. yas, i have anonymous tumblr where there i post my collection ootd hehe.
and anyway here, i want to telling all of you my 'genres' of style! i love look femine but a little boyish. and i love boots very much! than other type of shoes lol. because boots is fit with my (biggie) foot :<
without any intro bluh bluh bluh, lemme introduce my first fav ootd (tumblr version)
#1.
my first boots series (lol)
you should know how amazing a shirts with long sleeves combine with shorts and boots! if you want more catchy, add beanie or snapback on your head and a little accessories in your hands. voila~! a cool kids rock the street!
(ps: choose the most simply shirt and not too thight in your body)
#2.
a lady rock is come! you look fit if youre a typically "goddess" girl. a black trousers, combine with a dark shirt (and white maybe look great), (but please dont choose brown and red). a leather-black-jacket and a black boots. YAY BOOTS! you know how amazing your style!
Jumat, 07 Agustus 2015
Orang yang menjepit detik, ketuk yang mematuk hampa. Bergulat
tiada, mengalir air mata, melebur dalam duka. Tangis ini karena tak kuasa,
tangis ini dalam duka. Ada cinta yang terlupa, ada cinta yang hidup terlunta –
lunta. Tergurat dalam jiwa, melebur dalam sukma. Ditebas kosong asa. Dijerat sekarat
tak berdaya. Kuyup duka. Tapi tetap tak terlupa. Menganga dalam setiap geta. Pada
tatap mata, pada suara sapa, dan pada segalanya. Semua telah nyata. Aku semakin
luka, dan mencinta, selamanya. Mungkinkah ini nyata?
Seyogyanya kubiarkan rindu ini mengendap dalam emosi yang
terlunta lunta. Mengenangmu dalam jarak. Menyentuh magismu dalam rindu yang
mengurai segalamu. Menyandarkan kasihku di ujung sapa yang tak terlontar dari
bibir kelu. Terlampau jauh kasih ini
menyulam benang kusut yang kau sisihkan. Kadang aku merasa tak mampu. Hanya
karena cintaku yang jualah, aku terus memangkul beban asa yang tak lelah
kuulurkan untukmu.
Kamis, 30 Juli 2015
# Mencintai seseorang hanya karena ia memahamimu adalah keras kepala;
[ wonwoo's made it be, thanks bro! ]
Aku hidup untuk kesepian, seperti juga aku akan mati kesepian
Tawa yang menampar - nampar langit - langit basah
Desah yang menggelosor di ranjang tak bertuan
Peluh bahagia yang tumpah di tubuh, tanpa jiwa seperti menikam kesunyian
Inikah hidup kesepian?
Aku belum menemukan jawab.
Sampai detik ini, bejatku masih mengendus bau manismu
Berbalut dingin angin menusuk, dalam irama musik malam.
Menyentuh desir angin kesepian iming - iming bau pagi,
memeluk raga rembulan,
menghias wajah langit kelam
Sepikah hidup ini?
Jika saja mampu kusingkap kerudung hitam di mataku, akan kucari jawaban sepiku
Bilakah ada waktu sehari saja, kudekap raga dan hatimu
Akan kucari makna sepi yang kau pagutkan, lewat sendu hambarmu
Sungguh, aku tak habis pikir,
Mengapa puluhan bintang di atas yang menyapa
dengan kemerlipnya yang memesonakan mata
tak menyisakan apapun, kecuali bias cahaya putih yang berpedar?
Tetap saja sepi ini menggerogoti warasku
Sehari serasa semusim,
semusim pun bahkan....,jadi sehari
Terlalu dalam menerjemahkan sepi ini, dalam logika yanglongsor tanpa arah
Terkikis begitu saja, lalu tahu tahu aku sudah berdiri
di tepian jurang ketidakberdayaan dan keputusasaan
Tak bisa kuendus nafsu jiwamu selain raga mati,
yang meniupkan aroma bunga melati, di temaram lampu
Melanakan, tanpa arti yang tersisa
Hambar dan basi
Dan, sepi yang kutiduri, juga.
[ wonwoo's made it be, thanks bro! ]
Aku hidup untuk kesepian, seperti juga aku akan mati kesepian
Tawa yang menampar - nampar langit - langit basah
Desah yang menggelosor di ranjang tak bertuan
Peluh bahagia yang tumpah di tubuh, tanpa jiwa seperti menikam kesunyian
Inikah hidup kesepian?
Aku belum menemukan jawab.
Sampai detik ini, bejatku masih mengendus bau manismu
Berbalut dingin angin menusuk, dalam irama musik malam.
Menyentuh desir angin kesepian iming - iming bau pagi,
memeluk raga rembulan,
menghias wajah langit kelam
Sepikah hidup ini?
Jika saja mampu kusingkap kerudung hitam di mataku, akan kucari jawaban sepiku
Bilakah ada waktu sehari saja, kudekap raga dan hatimu
Akan kucari makna sepi yang kau pagutkan, lewat sendu hambarmu
Sungguh, aku tak habis pikir,
Mengapa puluhan bintang di atas yang menyapa
dengan kemerlipnya yang memesonakan mata
tak menyisakan apapun, kecuali bias cahaya putih yang berpedar?
Tetap saja sepi ini menggerogoti warasku
Sehari serasa semusim,
semusim pun bahkan....,jadi sehari
Terlalu dalam menerjemahkan sepi ini, dalam logika yanglongsor tanpa arah
Terkikis begitu saja, lalu tahu tahu aku sudah berdiri
di tepian jurang ketidakberdayaan dan keputusasaan
Tak bisa kuendus nafsu jiwamu selain raga mati,
yang meniupkan aroma bunga melati, di temaram lampu
Melanakan, tanpa arti yang tersisa
Hambar dan basi
Dan, sepi yang kutiduri, juga.
Rabu, 03 Juni 2015
i have nothing to say,
except i cry.
Itu yang gue rasain waktu gue nulis ini. Serius, seems like I have much on mind, tapi
nggak bisa explain satu per satu. Gue
berasa jadi lebih sensitive dan peka. Tapi jujur, gue gak pernah bisa marah. Gue
cuma bisa nangis, dan tanya ke Tuhan, “gue kenapa kayak gini?”.
Someone told me, if I shouldn’t
to build a high wall for covering myself. But to be honest, I don’t know what
he was meaning it. I mean it in my own way (lol) I have a probs, much probs. But
as long as I breath, I just keep silent. Covering myself, do everything by myself,
clearing my probs by myself. I need bestfriend, I need someone whom can I ask
for sharing. Now I have nothing. I didn’t believe they’re anymore. No.
I know everyone is
changed. And everyone is possible to hurt someone. But he, hurt me a lot. I keep
on quiet, because I won’t lose him, and hope he will change. I keep on secret
if in facts I got hurt. I save it by myself, eventough I didn’t strong enough,
but I will weaker if he leave me. I tried to notice him, but he didn’t get my
notice. Dear, I just want we be like yesterday. Closer, and share each other
everytime we need each other. not like today, we becoming far, far, far.
Maybe it’s my fault. I
keep revenge on him. So I try to give you space for himself, for he play with himself.
With his own world. And I build a high wall for covering me from him. I’m just
a disturber, isn’t it? I walk in his life and make it unstable. And that the
reason I often cries, a loner, and make a space with my friend. I being more
comfortable alone.
Dan payahnya, gue gak ngerti kenapa dia bikin gue jadi kaya
gini. It’s not first time sih gue nangis
gegara cowok. Tapi dia, geez. Idk what
should I do now. I just try to keep in sociality but I can’t! This dumbass girl is becoming sho sensitive!
Minggu, 24 Mei 2015
# dari yang terdalam
kepada kamu,
bintangku yang enggan terang di malam hari
begitu misteriuskah-nya duniamu
hingga aku selalu merasa asing di dekatmu
padahal, jarak dan waktu telah kusebrangi dengan balutan asa yang menerabas ilalang perbukitan, tak putus-putus. setiap kata, senyum, tawa dan kecup sederhana, selalu kuukir tulus di setiap lajunya.
seberapa lama kah nya kau bisa kudekap seutuhnya
biar keasingan itu sirna, tiada.
dan kau bisa mencatat namaku dalam duniamu
menyemai dan merenda kasih kembali
untuk mendulang cinta di tepian hati yang meradang.
merenggang asa diayun luka dan kefanaan
biarkan saja, pasrahkan pada suratan takdir
tak pernah ada kata salah
untuk mencintai apalagi dicintai]
lepaskan saja di lautan lepas dan awang langit
yang membentangi alam maya kita
biarkan ia menyelami maknanya sendiri
cinta tulus tahu kemana ia akan membawa
dan melabuhkan mahkota hatinya
meretas jejak di ambang mimpi yang hampir berakhir
mendayung kembara hatidalam pusara air kasihmu.
semalam menatap ayu wajahmu di di balik gerimis yang setia membasahi jalan
merasakan getar itu berkobar lagi perlahan lahan
mengapa tak kuasa kubunuh getar itu
biar aku terbebas dari pesona auramu
yang mengepung di segala ruang hati.
disetiap kedip mata kutemui bayangan menjelma nyata.
di setiap desah sepi, kupintal wajahmu dalam dekapan mesra
begitu erat hingga tak ingin ku melepaskannya
di setiap doa aku mengiba untukmu.
datanglah menjelang....,
pintumu kau buka untukku
lambaian putih tapak tanganmu, mengikat langkahku diam menembus bumi.
luluh dalam cintamu, satu.
aku terperangkap di anganku.
kepada kamu,
bintangku yang enggan terang di malam hari
begitu misteriuskah-nya duniamu
hingga aku selalu merasa asing di dekatmu
padahal, jarak dan waktu telah kusebrangi dengan balutan asa yang menerabas ilalang perbukitan, tak putus-putus. setiap kata, senyum, tawa dan kecup sederhana, selalu kuukir tulus di setiap lajunya.
seberapa lama kah nya kau bisa kudekap seutuhnya
biar keasingan itu sirna, tiada.
dan kau bisa mencatat namaku dalam duniamu
menyemai dan merenda kasih kembali
untuk mendulang cinta di tepian hati yang meradang.
merenggang asa diayun luka dan kefanaan
biarkan saja, pasrahkan pada suratan takdir
tak pernah ada kata salah
untuk mencintai apalagi dicintai]
lepaskan saja di lautan lepas dan awang langit
yang membentangi alam maya kita
biarkan ia menyelami maknanya sendiri
cinta tulus tahu kemana ia akan membawa
dan melabuhkan mahkota hatinya
meretas jejak di ambang mimpi yang hampir berakhir
mendayung kembara hatidalam pusara air kasihmu.
semalam menatap ayu wajahmu di di balik gerimis yang setia membasahi jalan
merasakan getar itu berkobar lagi perlahan lahan
mengapa tak kuasa kubunuh getar itu
biar aku terbebas dari pesona auramu
yang mengepung di segala ruang hati.
disetiap kedip mata kutemui bayangan menjelma nyata.
di setiap desah sepi, kupintal wajahmu dalam dekapan mesra
begitu erat hingga tak ingin ku melepaskannya
di setiap doa aku mengiba untukmu.
datanglah menjelang....,
pintumu kau buka untukku
lambaian putih tapak tanganmu, mengikat langkahku diam menembus bumi.
luluh dalam cintamu, satu.
aku terperangkap di anganku.
kepada kamu,
matahariku yang bersinar dibalik culumus.
jika cinta itu luka, lukai aku lebih dalam lagi
jika cinta itu luka, teruskanlah menancapkan rindu di dadaku sampai tak kenal lagi kata berhenti
luka adalah salah satu cara menguji,
seberapa kuat kita bertahan menuju kebersamaan
yang sesungguhnya
yang lebih berarti
cinta itu luka, memang, luka yang membahagiakan.
mencintaimu adalah awalan, awalan yang salah dan entah pengakhiran
yang mengajariku kesabaran dan ketabahan menunggu.
cinta itu luka karena mengajarkanku bagaimana menunggu dan menangis dengan benar.
jika memang cinta itu luka, mari kita menitikkan air mata bersama, dan tersenyum bersama di titik pertemuan nanti. titik yang masih sungguh kelabu untuk teraba.
jika cinta itu luka, masihkah kita sanggup bertemu pada akhirnya di kebersamaan?
masihkah aku bisa berharap?
aku menulisnya
cony-mu.
matahariku yang bersinar dibalik culumus.
jika cinta itu luka, lukai aku lebih dalam lagi
jika cinta itu luka, teruskanlah menancapkan rindu di dadaku sampai tak kenal lagi kata berhenti
luka adalah salah satu cara menguji,
seberapa kuat kita bertahan menuju kebersamaan
yang sesungguhnya
yang lebih berarti
cinta itu luka, memang, luka yang membahagiakan.
mencintaimu adalah awalan, awalan yang salah dan entah pengakhiran
yang mengajariku kesabaran dan ketabahan menunggu.
cinta itu luka karena mengajarkanku bagaimana menunggu dan menangis dengan benar.
jika memang cinta itu luka, mari kita menitikkan air mata bersama, dan tersenyum bersama di titik pertemuan nanti. titik yang masih sungguh kelabu untuk teraba.
jika cinta itu luka, masihkah kita sanggup bertemu pada akhirnya di kebersamaan?
masihkah aku bisa berharap?
aku menulisnya
cony-mu.
Minggu, 05 April 2015
Janji kita, siapa pun yang kalah dalam permainan ini, ia harus mencium sang pemenang di tempat yang diinginkan sesuka hatinya. Setelah menimbang sejenak, bibirku melengkungkan senyum.
"Oke, Deal!" kataku kepadamu dari ujung ranjang.
Aku mengambil tumpukan kartu yang berserak di tengah kita, memulai gerakan mengocok kartu, lalu membaginya sama rata sesuai aturan konvensional yang berlaku di seluruh dunia: tujuh kartu untukmu dan tujuh kartu untukku.
Aku mengangkat kartu-kartu yang menjadi bagianku lalu membariskannya di antara jari-jemariku sebelum kulihat semua isinya. Kau menaikkan salah satu sudut bibirmu ke atas setelah melihat kartu-kartu milikmu sendiri berjejer di antara jari-jarimu, senyum nakal yang selalu kaubuat jika berhasil membuatku berteriak mengaduh manja terhadapmu. Dasar nakal! Umpatku dalam hati.
"Kartunya bagus, makasih kocokannya, ya!?" katamu sambil menganggukkan kepalamu sekali ke arahku, "Punya kamu bagus, nggak?"
Aku mengecutkan bibirku sambil menggeleng. Kau tertawa cekikan setelahnya.
Kau mengambil satu buah kartu di tengah-tengah kita sebagai kartu penunjuk, kartu paling atas yang kau ambil. Kartunya bernomor 6 warna kuning. Kemudian kau meletakkan kartu berwarna kuning bergambar sebuah lingkaran dengan garis miring di tengahnya. Lambang stop. Aku mengangkat bahu, "Jalan lagi," kataku.
Kau tersenyum semakin nakal setelah melihatku mulai tidak senang pada permainan ini. Hei, ini masih awal dan kau mulai menyebalkan! Teriakku dalam hati.
"Oh iya, pasti, dong!" katamu sambil menjatuhkan kartu berwarna kuning dan bergambar dua buah panah yang saling menunjuk. Lambang reverse. Putar balik.
Aku menggigit bibirku, menyipitkan mata, dan melihat wajahmu yang tersenyum lebih dari sekadar nakal. Aku menggelengkan kepalaku sekali. Permainan ini mulai menguji kesabaranku. Tapi, bukannya aku harus senang karena siapa yang kalah harus mencium yang menang. Bermain cinta setelah bermain kartu? Hmm... lakukan!
"Jalan... lagi..." kataku pelan-pelan.
Kau tidak bersuara. Kau menjatuhkan sebuah kartu berwarna hitam dengan mantap ke atas tiga lembar kartu yang berserakan di tengah kita. Kartu berwarna hitam dengan tanda +4 di pinggir kanannya. Aku hanya termangu lalu melihat wajahnya. Aku mengangkat kedua alisku padamu.
"Ya ambil, lah..." katamu sambil menganggukkan kepala dengan wajah menyebalkan.
Aku menggeleng berkali-kali lalu mengambil empat lembar kartu sambil mendenguskan napas. Tahukah kau bahwa permainan ini mulai menyebalkan? Menyebalkan yang menyenangkan karena ada kau sebagai lawanku di sini. Menyenangkan karena dengan adanya kau di sini aku tidak lagi punya alasan untuk merasa kesepian. Ini menyebalkan yang paling menyenangkan! Kau harus tahu itu, Sayang.
Kartumu tinggal tersisa empat, sedangkan kartuku beranak pinak menjadi sebelas lembar yang kini berjejer rapi di jari-jemariku.
***
"Uno games!" teriakmu ketika kartumu telah habis dari genggaman, sedangkan aku, kartuku masih lengkap: sebelas lembar dalam genggaman. Bahkan kau tidak mengizinkanku untuk mengurangi satu lembar kartu pun dari tanganku.
Bermain UNO berarti bermain dengan kesempatan, katamu. Jika ingin menang dalam permainan ini, kita harus pintar-pintar menggunakan kesempatan, katamu lagi. Sekarang aku jadi mengerti, bagaimana aku bisa memenangkan permainan ini jika kau tidak memberikan padaku satu kali saja kesempatan.
Tapi tidak apa-apa, kupikir selagi hukumannya adalah menciummu, tidak apa-apa aku tidak mempunyai kesempatan untuk mengalahkanmu dalam permainan ini. Toh, aku masih memiliki kesempatan untuk menciummu, untuk mencintaimu. Aku membuang sebelas kartuku di tengah-tengah kita, lalu aku tersenyum sambil merangkak menuju tubuhmu. Kau tersenyum lebih nakal dari sebelumnya dan itu membuatku semakin cepat ingin menciummu. Lalu aku berhasil mencapai keningmu.
Aku berhenti bergerak ketika bibirku berada di puncak kepalamu. Rasanya dingin, sepi, getir. Lalu badanku bergetar, kepalamu mulai basah dengan air mata yang jatuh dari mataku. Kau kaku, lalu pelan. Menghilang. Aku mencoba memelukmu, tapi kau tidak ada lagi. Yang tersisa hanya serakan kartu-kartu di depanku. Badanku semakin bergetar, tangisku mulai meriak sementara kau benar-benar tidak ada lagi di depanku. Kuacak tumpukan kartu dengan kedua kakiku sehingga beberapa lembarnya terkoyak. Tubuhmu benar-benar lenyap dari pandanganku dan luka hatiku semakin menganga. Malam mulai beranjak tua tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil menangis.
Sayang, bahkan kau tidak memberikan kesempatan padaku bahwa kaulah satu-satunya. Lebih lagi, kau tidak memberiku kesempatan bahwa aku ada. Bahkan untuk menunjukkan padamu bahwa aku mampu menjadi yang terbaik. Untuk mencintaimu.
Lagi-lagi aku bermain UNO sendirian. Bersama bayanganmu. Dan juga tembok di depanku. Ibuku hanya mampu melihat dari depan kamar rumah sakit yang kini kutempati. Aku tidak mengerti mengapa beliau selalu menangis ketika melihatku menangis. Lebih lagi, aku tidak tahu kenapa aku ditempatkan dalam kamar isolasi ini.
"Oke, Deal!" kataku kepadamu dari ujung ranjang.
Aku mengambil tumpukan kartu yang berserak di tengah kita, memulai gerakan mengocok kartu, lalu membaginya sama rata sesuai aturan konvensional yang berlaku di seluruh dunia: tujuh kartu untukmu dan tujuh kartu untukku.
Aku mengangkat kartu-kartu yang menjadi bagianku lalu membariskannya di antara jari-jemariku sebelum kulihat semua isinya. Kau menaikkan salah satu sudut bibirmu ke atas setelah melihat kartu-kartu milikmu sendiri berjejer di antara jari-jarimu, senyum nakal yang selalu kaubuat jika berhasil membuatku berteriak mengaduh manja terhadapmu. Dasar nakal! Umpatku dalam hati.
"Kartunya bagus, makasih kocokannya, ya!?" katamu sambil menganggukkan kepalamu sekali ke arahku, "Punya kamu bagus, nggak?"
Aku mengecutkan bibirku sambil menggeleng. Kau tertawa cekikan setelahnya.
Kau mengambil satu buah kartu di tengah-tengah kita sebagai kartu penunjuk, kartu paling atas yang kau ambil. Kartunya bernomor 6 warna kuning. Kemudian kau meletakkan kartu berwarna kuning bergambar sebuah lingkaran dengan garis miring di tengahnya. Lambang stop. Aku mengangkat bahu, "Jalan lagi," kataku.
Kau tersenyum semakin nakal setelah melihatku mulai tidak senang pada permainan ini. Hei, ini masih awal dan kau mulai menyebalkan! Teriakku dalam hati.
"Oh iya, pasti, dong!" katamu sambil menjatuhkan kartu berwarna kuning dan bergambar dua buah panah yang saling menunjuk. Lambang reverse. Putar balik.
Aku menggigit bibirku, menyipitkan mata, dan melihat wajahmu yang tersenyum lebih dari sekadar nakal. Aku menggelengkan kepalaku sekali. Permainan ini mulai menguji kesabaranku. Tapi, bukannya aku harus senang karena siapa yang kalah harus mencium yang menang. Bermain cinta setelah bermain kartu? Hmm... lakukan!
"Jalan... lagi..." kataku pelan-pelan.
Kau tidak bersuara. Kau menjatuhkan sebuah kartu berwarna hitam dengan mantap ke atas tiga lembar kartu yang berserakan di tengah kita. Kartu berwarna hitam dengan tanda +4 di pinggir kanannya. Aku hanya termangu lalu melihat wajahnya. Aku mengangkat kedua alisku padamu.
"Ya ambil, lah..." katamu sambil menganggukkan kepala dengan wajah menyebalkan.
Aku menggeleng berkali-kali lalu mengambil empat lembar kartu sambil mendenguskan napas. Tahukah kau bahwa permainan ini mulai menyebalkan? Menyebalkan yang menyenangkan karena ada kau sebagai lawanku di sini. Menyenangkan karena dengan adanya kau di sini aku tidak lagi punya alasan untuk merasa kesepian. Ini menyebalkan yang paling menyenangkan! Kau harus tahu itu, Sayang.
Kartumu tinggal tersisa empat, sedangkan kartuku beranak pinak menjadi sebelas lembar yang kini berjejer rapi di jari-jemariku.
***
"Uno games!" teriakmu ketika kartumu telah habis dari genggaman, sedangkan aku, kartuku masih lengkap: sebelas lembar dalam genggaman. Bahkan kau tidak mengizinkanku untuk mengurangi satu lembar kartu pun dari tanganku.
Bermain UNO berarti bermain dengan kesempatan, katamu. Jika ingin menang dalam permainan ini, kita harus pintar-pintar menggunakan kesempatan, katamu lagi. Sekarang aku jadi mengerti, bagaimana aku bisa memenangkan permainan ini jika kau tidak memberikan padaku satu kali saja kesempatan.
Tapi tidak apa-apa, kupikir selagi hukumannya adalah menciummu, tidak apa-apa aku tidak mempunyai kesempatan untuk mengalahkanmu dalam permainan ini. Toh, aku masih memiliki kesempatan untuk menciummu, untuk mencintaimu. Aku membuang sebelas kartuku di tengah-tengah kita, lalu aku tersenyum sambil merangkak menuju tubuhmu. Kau tersenyum lebih nakal dari sebelumnya dan itu membuatku semakin cepat ingin menciummu. Lalu aku berhasil mencapai keningmu.
Aku berhenti bergerak ketika bibirku berada di puncak kepalamu. Rasanya dingin, sepi, getir. Lalu badanku bergetar, kepalamu mulai basah dengan air mata yang jatuh dari mataku. Kau kaku, lalu pelan. Menghilang. Aku mencoba memelukmu, tapi kau tidak ada lagi. Yang tersisa hanya serakan kartu-kartu di depanku. Badanku semakin bergetar, tangisku mulai meriak sementara kau benar-benar tidak ada lagi di depanku. Kuacak tumpukan kartu dengan kedua kakiku sehingga beberapa lembarnya terkoyak. Tubuhmu benar-benar lenyap dari pandanganku dan luka hatiku semakin menganga. Malam mulai beranjak tua tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil menangis.
Sayang, bahkan kau tidak memberikan kesempatan padaku bahwa kaulah satu-satunya. Lebih lagi, kau tidak memberiku kesempatan bahwa aku ada. Bahkan untuk menunjukkan padamu bahwa aku mampu menjadi yang terbaik. Untuk mencintaimu.
Lagi-lagi aku bermain UNO sendirian. Bersama bayanganmu. Dan juga tembok di depanku. Ibuku hanya mampu melihat dari depan kamar rumah sakit yang kini kutempati. Aku tidak mengerti mengapa beliau selalu menangis ketika melihatku menangis. Lebih lagi, aku tidak tahu kenapa aku ditempatkan dalam kamar isolasi ini.
Selasa, 24 Maret 2015
Keretaku tiba terlalu pagi.
Sebenarnya,
aku sedikit berharap stasiun ini terlihat lebih bersahabat. Damai dalam
kebutaan pagi, dingin gelap, yang berteman baik dengan secangkir cokelat panas
seperti yang selalu mereka lakukan.
Turun
dari kereta itu adalah saat pertama lagi kutemui tempat yang sama setelah
terakhir kutatap punggungnya berlalu. Ruas-ruas undak-undakan ubin lantai itu,
tempat kami duduk, dan terakhir kali berpeluk. Tempat wajah-wajahnya kurekam
dalam kamera ponsel. Tempat kami mencandai seorang gadis remaja kulit putih dan
mengira-ngira siapa namanya. Lalu berjanji temu sebelum lenyap dalam toilet
jenis kelamin masing-masing. Aku menyukai itu. Aku menganggapnya sebagai, I
don’t wanna be without you too long.
Ia
menganggapnya sebagai, I haven’t got so much time. Maka, ”Please
meet me at Dunkin Donuts,” tulisnya.
Aku
meninggalkan stasiun ini terakhir kali dengan tangis. Ia menolak untuk mencium.
Hanya memeluk erat selama beberapa saat, lalu berlalu pergi. Tidak menoleh lagi
untuk kedua kali. Aku hanya mengiranya, karena itu hanya akan membuatnya
teramat sedih.
Kami
sudah tak mungkin bersama.
Rasanya
mustahil, seperti matahari tenggelam yang muncul lagi setelah senja.
Meskipun,
rasanya, hanya beberapa bulan saja sebelum hari itu, masih kulihat rindu
bersinar-sinar di matanya. Masih kutatap pilar-pilar, rel yang memanjang, dan
lampu-lampu putih di sepanjang peron sebagai kerlip cinta. Hanya beberapa bulan
saja sebelumnya, air kolam yang tenang di depan stasiun itu masih
mengendapkan rahasia tentang ciuman-ciuman rindu. Percakapan para penjual
jajanan di kios-kios di depannya yang riuh dan lucu. Gerbang tempat berjanji
temu.
Aku
mencintai stasiun ini.
Maka
aku kembali.
Aku
harus menatapnya lagi. Menatapnya diam, menyimpan rahasia-rahasia itu, sekadar
agar aku tahu—masihkah ia sanggup. Atau, haruskah ia melepaskan segala
ceritanya, karena terlalu berat, atau haruskah ia berlalu karena memang teramat
tidak penting.
Jadi,
masihkah sanggup kau, wahai, lampu-lampu putih dan peron-peron yang damai,
untuk menyimpan rahasia-rahasiaku? Kau tak perlu memaksakan diri, tahu…, aku
tahu bahwa sebelum kami, sudah terlalu banyak kisah-kisah yang terjadi. Terlalu
banyak pertemuan, dan perpisahan lagi, di sini…, yang telah begitu lama
menggelayuti tiang-tiang pilarmu ini.
Kau
tak perlu memaksakan diri.
***
Oh,
matahariku terbit lagi di antara pelepah-pelepah dingin pepohon perdu di tepi
kolam itu.
Dan
aku tahu aku akan harus terus menemuimu.
Berani
menatapmu lagi, setelah hari ini. Diam dalam kediamanmu yang magis, dan
heningmu yang pekat, tempat dimana kenanganku melekat. Hariku akan berjalan,
hai loket-loket mungil dan lonceng-lonceng kecil. Kau juga. Lihat, lampu-lampu
putihmu telah mulai mati. Aku tahu engkau harus bersiap untuk satu kisah lagi.
Maka
akan kurelakan kenanganku di sini. Biar saja melekat. Karena aku tahu, saat
kubiarkan bayangku hilang dari lampu putihmu…, engkau masih akan tetap kuat.
***
a