“Seza, memangnya kamu pernah jatuh cinta?”
tanya Leon. Dua sosok remaja itu masih terus melangkah dengan ritme lambat.
Menyusuri trotoar tanpa tujuan yang pasti.
“suka, jatuh cinta, patah hati. Aku sudah
pernah merasakan semuanya. Memangnya kenapa?” Seza menjawabnya dengan pandangan
menerawang. Seakan akan kembali mengingat bagaimana cara ia mencintai seseorang
secara diam-diam, dan berakhir dengan ia yang mengalah, mundur teratur. Sakit.
“apa cinta itu menyedihkan?” tanya Leon lagi.
Seza mengerti, Leon bukanlah orang yang paham apa itu cinta sebenarnya. Ia
hanya mengetahui teori cinta yang bejibun.
Intinya, Leon sangat membenci apa itu cinta. Keluarganya lah yang membuatnya
tak mau berurusan dengan cinta.
“tidak selamanya. Ada saat indah, ada saat
bahagia, ada saatnya juga air mata menjadi peran utama. Bagaimana cara kita
menyikapinya aja, sih. Kenapa? Masih takut untuk jatuh cinta?”
Langit semakin gelap. Bukan karena matahari
yang akan memulai aktivitasnya dibelahan bumi lain, melainkan awan abu-abu
pekat diatas mereka yang sepertinya akan berubah menjadi titik-titik hujan.
tapi mereka masih bertahan diritme langkah mereka. Tidak ada keinginan untuk
berjalan lebih cepat atau mencari tempat berlindung dari tumpahan hujan. mereka
menikmati langkah demi langkah mereka.
“entah.” Jawab Leon singkat. Dan bimbang.
Cinta? Jatuh cinta? Seperti apa?
“cinta itu nggak butuh teori. Suka, jatuh
cinta, cinta, kecewa, sakit hati. Semuanya nggak butuh teori.” Jelas Seza. Leon
semakin ingin tahu apa itu cinta. Cinta yang sebenarnya. Walaupun ketakutannya
pada masalalu membuatnya masih enggan untuk mulai masuk kedunia cinta-cintaan.
“apa bedanya? Maksudku, sesuai yang pernah
kamu rasain. Suka, jatuh cinta, cinta.....apalah itu.”
Seza tersenyum menatap langit yang semakin
kelam. Massa awan sepertinya sudah cukup berat diatas sana. ia memutuskan masuk
ke sebuah tempat makan yang ada disamping trotoar. Leon mengikutinya tanpa
protes. Sebenarnya, mereka sudah melewatkan jam makan siang untuk hari ini.
“suka, emmm sama seperti fans ke idolanya.
Hanya sekedar rasa suka. Tanpa ada
getaran khusus yang mungkin terselip dihati salah satu dari keduanya saat
bertemu. Kalau Jatuh cinta....” Seza memotong ucapannya sebentar sambil
berfikir dan menerawang. “sama seperti suka, hanya saja.....pokoknya ada hal
hal khusus yang nggak bisa disebutkan dalam teori deh.”
Leon hanya mengangguk. Percakapan mereka
terhenti sejenak ketika pelayan rumah makan itu menghampiri mereka sekedar
menulis pesanan keduanya.
“lalu apa pendapatmu tentang cinta yang
egois?” tanya Leon lagi. Seza tak menggerutu ataupun sejenisnya ketika Leon
bertanya terus menerus kepadanya. Ia tidak mengeluh.
“cinta itu egois, Leon. Nggak ada orang jatuh
cinta yang egois. Cinta menuntut orang yang dilanda cinta untuk egois.
Contohnya simpel, merasa nggak mau kehilangan. Mungkin banyak yang bilang itu
hanya ambisi. Tapi cinta memang butuh ambisi kan? Hanya sekedar untuk
mempertahankan apa yang telah kita miliki.”
“jadi itu wajar?”
Seza mengangguk. Percakapan mereka terhenti
kembali ketika sang pelayan restoran datang membawakan dua porsi pesanan
mereka. Mereka makan dalam diam, sejenak menikmati hujan yang mulai membasahi
pelataran Jl. Embong Malang, Surabaya. Kendaraan yang melintasi jalan protokol
itu mulai memperlambat kecepatannya, walaupun sebagian orang yang mengendarai
roda dua memilih berhenti.
“kau....jatuh cinta?” tanya Seza to the point.
Leon hampir tersedak mendengar ucapan Seza dan memilih mengendikan bahunya.
Cinta?
Apa aku masih pantas jatuh cinta? Merasakan indahnya cinta. Membiarkan
keindahan cinta membelenggu kesadarannya. Mengijinkan cinta mengendalikan
sebagian dari tubuhnya?
“entahlah. Aku benar benar belum mengerti
cinta.”
0 komentar:
Posting Komentar