Ini malam. Aku tahu. Tapi aku enggan beranjak dari tempat
ini, walaupun angin malam sepertinya akan membuatku mati beku. Aku masih
terkesiap akan pertanyaan yang ia ajukan tadi pagi. Sebaris pertanyaan
sederhana yang membuat goresan luka cukup dalam.
“kemarin aku jadian sama dia.” Ujarnya. Aku hanya bisa
menoleh dengan alis mengkerut.
“dia? Siapa?” tanyaku. Berusaha memastikan. Aku sebenarnya
tahu siapa yang ia maksud. Hanya saja aku tidak mau membuat opini sepihat. Aku mengijinkan
telingaku mendengar pernyataannya.
“Chendra.” Hening. Pernyataannya membuatku bingung entah apa
yang harus kuucapkan sebagai jawaban. Aku masih terpaku atas kebenaran dari
opini sepihakku. “ maaf” katanya lagi.
Aku berusaha menahan air mataku untuk tidak jatuh sia sia. Tapi
percuma. Air mata itu jatuh bersama perasaan sakit, perih dan terhina yang
dengan luar biasanya menguasai seluruh emosiku. Aku tidak menamparnya, ataupun
mendatangi Chendra yang lima belas menit lalu kutemui dilapangan basket untuk
mengungkapkan seluruh kekecewaanku.
Kecewa. Ya, aku kecewa. Dia –sahabatku, yang selama ini
mengaku sebagai sahabatku– dengan gampangnya menyakiti aku yang baru saja
merasakan indahnya cinta. Tapi apa aku harus menyalahkannya? Atau menyalahkan
Chendra karena ia juga diam diam menyukai sahabatku sendiri?
Aku pulang dengan mata bengkak, merah dan keadaan yang
menyedihkan. Mungkin mereka mengataiku bodoh karena menangisi dua orang yang
sedang jatuh cinta yang mungkin saja sama sekali tidak sedang memperdulikanku. Tapi
kau tau rasanya dikhianati oleh seorang yang selama ini kau patenkan sebagai
sahabatmu?
Dua belas jam berlalu, perih itu masih sangat terasa. Membuat
pipiku becek oleh tumpahan air mataku sendiri. Aku, perempuan kecil yang baru
saja memasuki area kebahagiaan dari sebuah perasaan yang dibilang cinta, kini
terperosok kedalam jurang yang gelap, hitam, dan menghasilkan luka batin yang
luar biasa sakit. Aku tak bisa bergerak lebih. Aku hanya bisa terdiam,
mengobati luka luka itu sendiri dan kembali memulai usahaku untuk mendaki
keluar dari jurang itu. Belajar menerima keadaan dan bersikap dewasa.
“harusnya kamu bisa marah sama mereka. Kamu umpat aja
mereka. Mereka pengkhianat, me.” Ujar seorang teman yang satu-satunya bisa
menjadi tempat sampahku untuk saat ini. Aku tersenyum, merusaha menepis lukisan
muram di wajahku, walaupun aku tahu itu akan percuma.
“aku marah kok, kecewa, bahkan mengumpat mereka dalam hati. Lagian
untuk masalah perasaan, memangnya ada kata salah? Bukannya cinta bisa menikam
siapa saja walau tanpa logika?” kataku sendu. Aku masih menyimpan luka itu saat
aku berkata demikian. Aku semakin membenci mereka saat aku berusaha menerima
kenyataan. Sungguh, itu percuma.
Percuma? Ya, itu percuma saat aku masih merasa kecewa dengan
mereka. Bagiku kini, itu hanyalah seuntai
lagu kelam masalalu yang pernah terjadi dalam hidupku. Lagu yang dibuat pada
tanggal 13 Desember.
(untuk yang pernah mengisi hatiku : S-A-A. :’) )
0 komentar:
Posting Komentar