#Draft 1. (c: Seza & Leon)

on 04.41



“Seza, memangnya kamu pernah jatuh cinta?” tanya Leon. Dua sosok remaja itu masih terus melangkah dengan ritme lambat. Menyusuri trotoar tanpa tujuan yang pasti.
“suka, jatuh cinta, patah hati. Aku sudah pernah merasakan semuanya. Memangnya kenapa?” Seza menjawabnya dengan pandangan menerawang. Seakan akan kembali mengingat bagaimana cara ia mencintai seseorang secara diam-diam, dan berakhir dengan ia yang mengalah, mundur teratur. Sakit.
“apa cinta itu menyedihkan?” tanya Leon lagi. Seza mengerti, Leon bukanlah orang yang paham apa itu cinta sebenarnya. Ia hanya mengetahui teori cinta yang bejibun.  Intinya, Leon sangat membenci apa itu cinta. Keluarganya lah yang membuatnya tak mau berurusan dengan cinta.
“tidak selamanya. Ada saat indah, ada saat bahagia, ada saatnya juga air mata menjadi peran utama. Bagaimana cara kita menyikapinya aja, sih. Kenapa? Masih takut untuk jatuh cinta?”
Langit semakin gelap. Bukan karena matahari yang akan memulai aktivitasnya dibelahan bumi lain, melainkan awan abu-abu pekat diatas mereka yang sepertinya akan berubah menjadi titik-titik hujan. tapi mereka masih bertahan diritme langkah mereka. Tidak ada keinginan untuk berjalan lebih cepat atau mencari tempat berlindung dari tumpahan hujan. mereka menikmati langkah demi langkah mereka.
“entah.” Jawab Leon singkat. Dan bimbang. Cinta? Jatuh cinta? Seperti apa?
“cinta itu nggak butuh teori. Suka, jatuh cinta, cinta, kecewa, sakit hati. Semuanya nggak butuh teori.” Jelas Seza. Leon semakin ingin tahu apa itu cinta. Cinta yang sebenarnya. Walaupun ketakutannya pada masalalu membuatnya masih enggan untuk mulai masuk kedunia cinta-cintaan.
“apa bedanya? Maksudku, sesuai yang pernah kamu rasain. Suka, jatuh cinta, cinta.....apalah itu.”
Seza tersenyum menatap langit yang semakin kelam. Massa awan sepertinya sudah cukup berat diatas sana. ia memutuskan masuk ke sebuah tempat makan yang ada disamping trotoar. Leon mengikutinya tanpa protes. Sebenarnya, mereka sudah melewatkan jam makan siang untuk hari ini.
“suka, emmm sama seperti fans ke idolanya. Hanya sekedar rasa suka.  Tanpa ada getaran khusus yang mungkin terselip dihati salah satu dari keduanya saat bertemu. Kalau Jatuh cinta....” Seza memotong ucapannya sebentar sambil berfikir dan menerawang. “sama seperti suka, hanya saja.....pokoknya ada hal hal khusus yang nggak bisa disebutkan dalam teori deh.”
Leon hanya mengangguk. Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pelayan rumah makan itu menghampiri mereka sekedar menulis pesanan keduanya.
“lalu apa pendapatmu tentang cinta yang egois?” tanya Leon lagi. Seza tak menggerutu ataupun sejenisnya ketika Leon bertanya terus menerus kepadanya. Ia tidak mengeluh.
“cinta itu egois, Leon. Nggak ada orang jatuh cinta yang egois. Cinta menuntut orang yang dilanda cinta untuk egois. Contohnya simpel, merasa nggak mau kehilangan. Mungkin banyak yang bilang itu hanya ambisi. Tapi cinta memang butuh ambisi kan? Hanya sekedar untuk mempertahankan apa yang telah kita miliki.”
“jadi itu wajar?”
Seza mengangguk. Percakapan mereka terhenti kembali ketika sang pelayan restoran datang membawakan dua porsi pesanan mereka. Mereka makan dalam diam, sejenak menikmati hujan yang mulai membasahi pelataran Jl. Embong Malang, Surabaya. Kendaraan yang melintasi jalan protokol itu mulai memperlambat kecepatannya, walaupun sebagian orang yang mengendarai roda dua memilih berhenti.
“kau....jatuh cinta?” tanya Seza to the point. Leon hampir tersedak mendengar ucapan Seza dan memilih mengendikan bahunya.
Cinta? Apa aku masih pantas jatuh cinta? Merasakan indahnya cinta. Membiarkan keindahan cinta membelenggu kesadarannya. Mengijinkan cinta mengendalikan sebagian dari tubuhnya?
“entahlah. Aku benar benar belum mengerti cinta.”

0 komentar:

Posting Komentar