Untuk Luka Dimasa Lalu

on 21.57


Ini malam. Aku tahu. Tapi aku enggan beranjak dari tempat ini, walaupun angin malam sepertinya akan membuatku mati beku. Aku masih terkesiap akan pertanyaan yang ia ajukan tadi pagi. Sebaris pertanyaan sederhana yang membuat goresan luka cukup dalam.
“kemarin aku jadian sama dia.” Ujarnya. Aku hanya bisa menoleh dengan alis mengkerut.
“dia? Siapa?” tanyaku. Berusaha memastikan. Aku sebenarnya tahu siapa yang ia maksud. Hanya saja aku tidak mau membuat opini sepihat. Aku mengijinkan telingaku mendengar pernyataannya.
“Chendra.” Hening. Pernyataannya membuatku bingung entah apa yang harus kuucapkan sebagai jawaban. Aku masih terpaku atas kebenaran dari opini sepihakku. “ maaf” katanya lagi.
Aku berusaha menahan air mataku untuk tidak jatuh sia sia. Tapi percuma. Air mata itu jatuh bersama perasaan sakit, perih dan terhina yang dengan luar biasanya menguasai seluruh emosiku. Aku tidak menamparnya, ataupun mendatangi Chendra yang lima belas menit lalu kutemui dilapangan basket untuk mengungkapkan seluruh kekecewaanku.
Kecewa. Ya, aku kecewa. Dia –sahabatku, yang selama ini mengaku sebagai sahabatku– dengan gampangnya menyakiti aku yang baru saja merasakan indahnya cinta. Tapi apa aku harus menyalahkannya? Atau menyalahkan Chendra karena ia juga diam diam menyukai sahabatku sendiri?
Aku pulang dengan mata bengkak, merah dan keadaan yang menyedihkan. Mungkin mereka mengataiku bodoh karena menangisi dua orang yang sedang jatuh cinta yang mungkin saja sama sekali tidak sedang memperdulikanku. Tapi kau tau rasanya dikhianati oleh seorang yang selama ini kau patenkan sebagai sahabatmu?
Dua belas jam berlalu, perih itu masih sangat terasa. Membuat pipiku becek oleh tumpahan air mataku sendiri. Aku, perempuan kecil yang baru saja memasuki area kebahagiaan dari sebuah perasaan yang dibilang cinta, kini terperosok kedalam jurang yang gelap, hitam, dan menghasilkan luka batin yang luar biasa sakit. Aku tak bisa bergerak lebih. Aku hanya bisa terdiam, mengobati luka luka itu sendiri dan kembali memulai usahaku untuk mendaki keluar dari jurang itu. Belajar menerima keadaan dan bersikap dewasa.
“harusnya kamu bisa marah sama mereka. Kamu umpat aja mereka. Mereka pengkhianat, me.” Ujar seorang teman yang satu-satunya bisa menjadi tempat sampahku untuk saat ini. Aku tersenyum, merusaha menepis lukisan muram di wajahku, walaupun aku tahu itu akan percuma.
“aku marah kok, kecewa, bahkan mengumpat mereka dalam hati. Lagian untuk masalah perasaan, memangnya ada kata salah? Bukannya cinta bisa menikam siapa saja walau tanpa logika?” kataku sendu. Aku masih menyimpan luka itu saat aku berkata demikian. Aku semakin membenci mereka saat aku berusaha menerima kenyataan. Sungguh, itu percuma.
Percuma? Ya, itu percuma saat aku masih merasa kecewa dengan mereka.  Bagiku kini, itu hanyalah seuntai lagu kelam masalalu yang pernah terjadi dalam hidupku. Lagu yang dibuat pada tanggal 13 Desember.
(untuk yang pernah mengisi hatiku : S-A-A. :’) )

0 komentar:

Posting Komentar